Minggu, 07 Februari 2010

Refleksi Hukum dan Implementasinya dalam Budaya Hukum di Indonesia

Tulisan ini berangkat dari suatu pengalaman, pengamatan dan buah pemikiran (setidaknya sebagai hasil perenungan) bahwa masih banyak kesimpangsiuran dan ketidakjelasan atau bahakan ketidakadilan dalam masalah hukum dan implemetasinya di negara Indonesia yang kita cintai. Ada pendapat menurut ahli hukum bahwa Indonesia menganut "hukum positif" yang didalamnya mengakui dan mengimplementasikan kombinasi antara " Hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis". Secara pandangan sederhana bahwa hukum tertulis yang dimaksud adalah seperangkat aturan yang dilegitimasi oleh suatu lembaga negara atau kemasyarakatan dan dibuat secara tertulis dengan atau berikut sangsi-sangsi yang jelas dan tertulis. Selanjutnya yang dimaksud hukum tidak tertulis adalah segala peraturan dan kehidupan masyarakat yang pada umumnya "memang" tidak tertulis, meski ada juga yang awalnya tidak tertulis kemudian menjadi tertulis (dituliskan). Hukum tidak tertulis yang dimaksud juga biasa juga disebut sebagai hukum adat (adat recht).
Berangkat dari dua konsep hukum dimaksud di atas (yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis) dalm implemetasinya sering terjadi tumpang tindih atau bahkan "konflik legalitas hukum" di masyarakat. Tidak sedikit terjadinya persengketaan antara misalnya hukum ulayat dengan hukum atau peraturan PERHUTANI. tidak sedikit juga terjadi konflik antara penyelesaian kasus adat yang kontra dengan penyelesaian hukum formal (tertulis), misal kasus konflik sampang-sampit. Bahkan tidak jarang juga masyarakat Indonesia terutama kaum "masyarakat sederhana" yang notabene "awam hukum formal" dibodohi dan dipecundangi oleh pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan "hukum atau peraturan tertulis", baik itu yang mengatasnamakan hukum negera atau hukum "agama (import/luar)". Kasus lainnya juga yang tidak kalah menarik perhatian khalayak adalah kasus pernikahan adat yang masih belum "disahkan" secara negara karena dianggap tdk sah secara hukum "agama luar" dan dianggap tidak tertulis serta tidak ada legitimasi para pemuka adatnya, maka juga dikategorikan pada maslaah konflik hukum yang masih kompleks saat ini. sebuta saja kasus pernikahan orang dayak, orang kejawen sedulur sikep, orang di pedalaman papua, orang sundawiwitan dan sebagainya masih belum mendapatkan akta pernikahan dilantarankan perkawinan itu tidak sesuai "hukum tertulis negera dan atau agama luar". sungguh ironis sekali. namun demikian hal ini tidak banyak para ahli hukum dan pejuang HAM melirik dan memeperjuangkan secara sungguh-sungguh kasus ini. Bahkan Direktorak Kepercayaan pun masih mengalami "kebingungan" untuk menyikapi masalah ini secara serius dan sungguh-sungguh (entah apa yang menjadi kendala mereka sehingga tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang penting untuk diperjuangkan). padahal sejatinya adalah "hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum yang sama di muka umum."
Hal yang sangat menggemparkan lagi manakala para pelanggar "hukum formal" adalah mereka yang notabene "sangat mengerti hukum formal" itu sendiri. misalnya para birokrat yang korupsi, para aparat penegak hukum yang menjadi mafia peradilan, dan kolusi dan sebagainya. Andaikan masyarakat "awam yang terbiasa" melakukan kehidupan dengan pedoman "hukum tidak tertulis" menjadi melanggar "hukum formal" karena ketidaktahuan, mungkin sangatlah wajar, tetapi sebaliknya aparat penegak hukum, kaum birokrat dan politisi yang mengerti hukum formal "secara terang-terangan" melakukan penyimpangan aturan hukum tertulis sangatlah tidak wajar, misalnya kasus Bank Century yang sedang hangat dibicarakan orang dan berbagai media massa. Naun yang sangat disayangkan pula ketika warga masyarakat adat yang jelas-jelas dalam tuntunan perilaku kehidupannya didasarkan dan berpedoman pada hukum tidak tertulis, sering "didakwa" atas nama ketidaksesuaian terhadap "hukum tertulis". ketidakjelasan dalam pemilahan masalah hukum di Indonesia dengan implemetasinya ini adalah masalah serius yang harus betul-betul disikapi oleh berbagai pihak, apalagi Indonesia sudah banyak meratifikasi hukum dan dan perundang-undangannya dengan hukum yang disepakati dan konvensi PBB (DUHAM dunia).
Sampai kapan hal ini akan dibiarkan? sampai kapan negara ini hidup dalam ketidakteraturan hukum dan ketidakadilan dalam implementasi hukum dengan berbagai polemiknya? paling tidak seharusnya pemerintah segera membenahi hukum dan peraturan-peraturan tertulis lainnya dengan menyesuaikan "budaya hukum" yang berkembang di masyarakat Indonesia yang multi budaya, multi etnis dan multi adat. Karena sejauh ini ada anggapan bahwa Hukum di Indonesia masih "kental" dengan nuansa "Hukum warisan kolonial Belanda". sepertinya adanya kesimpangsiuran dan lebih jauh banyaknya konflik masyarakat dalam masalah penyimpangan hukum, karena pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum beserta aparatnya tidak memahami budaya hukum yang berkembang di indonesia. Dalam hal inilah masalah HAM di Indonesia tentunya akan berbeda dengan maslah HAM di belahan dunia lainnya, artinya juga hukum dan peraturan untuk ketertiban masyarakat harus disesuaikan dengan budaya hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia agar terjadi keharmonisan dan keadilan dalam melihat dan menyelesaikan masalahnya.



kontributor(c)I_Indrawardana

Tidak ada komentar: