Kamis, 08 Januari 2009

Dilema Upacara Seren taun Cigugur sebagai Ritual Adat, Pariwisata dan Stigma Politis

Kehidupan Masyarakat Cigugur (di kaki Gunung Ciremai) yang terdapat di wilayah Kabupaten Kuningan menurut beberapa kalangan memiliki keunikan tertentu. Hal yang menjadi ciri keunikan itu diantaranya adalah berkembangnya kehidupan masyarakat etnik Sunda yang menganut berbagai keyakinan baik agama “umum continental” atau “agama semit” seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha dan Hindu serta keyakinan sistem kepercayaan adat atau “agama lokal” atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keanekaragaman keyakinan ini sebagai ciri juga berkembangnya kehidupan masyarakat yang pluralis. Ironisnya, Cigugur adalah sebuah desa dimana mayoritas pengikut Kiyayi Madrais (Pangeran Sadewa Alibasa Kusumawijayadiningrat) tinggal, telah dipuji-puji oleh banyak kalangan, termasuk berbagai media masa (Kompas, Suara Pembaharuan dll) bahkan masyarakat berbagai negara yang pernah berkunjung ke sana, sebagai masyarakat yang corak kerukunan dan toleransi agamanya paling ideal di tanah air. Dalam banyak keluarga di masyarakat Cigugur telah terbiasa kehidupan multi agama untuk masing-masing anggota keluarga tanpa haus mempersoalkan perbedaan keyakinan sebagai sumber pertentangan. Berkaitan dengan hal itu dalam masyarakat Cigugur, hidup suatu komunitas yang memegang teguh tradisi kepercayaan adat Sunda. Salah satu manifestasinya nampak dalam suatu tradisi seremonial ritual adat yang dinamakan dengan Upacara Adat Seren Taun setiap tanggal 22 Rayagung dalam sistem penanggalan Sunda.

Pada kenyataannya upacara Seren Taun tersebut dilakukan secara kolosal oleh berbagai lapisan masyarakat pluralis Cigugur, bahkan diikuti juga oleh masyarakat lain dari luar Cigugur yang masih terikat dalam kesatuan sistem kepercayaan adat Sunda Cigugur (seperti dari Garut,Ciawi, Bandung, Ciawi, Banjar, dan Ciamis). Integrasi sosial dari perbedaan keyakinan diantara masyarakat Cigugur dibangun dan dilandasi dari suatu komunikasi budaya etnik Sunda. Anas Saidi (2004) dalam Menekuk Agama Membangun Tahta berpendapat bahwa di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang belajar kembali memahami arti pluralisme, dan agama telah “gagal” menampilkan keampuhannya dalam membuktikan diri atas doktrin unifikasinya, maka fenomena Cigugur dalam tahap tertentu, adalah sebuah “ilham” (penulis lebih sepakat dengan menekankan “ilham kedamaian pluralitas sosial budaya Indonesia”). Hal ini kuat atau erat kaitannya antara ideologi toleransi lokalistik dengan ajaran spritual “Madraisme” yang secara implisit maupun eksplisit dikembangkan oleh masyarakat pendukung upacara Adat Seren Taun tersebut.

Meskipun demikian secara historis ajaran spiritual yang diusung masyarakat Cigugur mengalami “pergolakan” yang diskriminatif oleh pemerintah lokal mapun regional bahkan sampai sekarang. Pergolakan itu sejak awal-awal masa reformasi tidak menjadi permasalahan yang bersifat debatable atau perguncingan serius di kalangan masyarakat Kuningan, karena pada kenyataannya masalah perbedaan agama dan keyakinan terhadap persepsi “madraisme” dan kesundaaan di Cigugur secara inheren diletakkan dalam masalah yang bersifat benar-benar privacy. Bahkan yang nampak adalah semangat kebersamaan dan kesetaraan di kalangan mereka dalam mengusung warisan nenek moyang Sunda sebagai wujud religiusitas manusia Sunda di Cigugur. Di lain pihak pelarangan yang pernah terjadi selama kurang lebih 17 tahun oleh pemerintah orde baru disinyalir akibat menguatnya hegemoni state berupa tindakan yang bersifat violence by law dan violence by action terhadap custom society (masyarakat adat), meskipun di lain pihak pemerintah sangat membutuhkan mereka yang sebatas “artificial” memanfaatkan atau mengeksploitasi budaya sebagai modal pariwisata.

Konsepsi adat yang ada dalam sistem nilai masyarakat Cigugur untuk terus menjaga tatanan sosial dan sistem keyakinan yang multi religi itu ditekankan oleh sesepuh masyarakat adat Ciigugur (P.Djatikusumah, cucu dari Pangeran Sadewa Alibasa Kusumawijayaningrat atau “Madrais”) berupa konsepsi nilai “pentingnya menekankan kesamaan “pengertian” dalam kehidupan sosial dan budaya daripada “perbedaan” yang mengarah pada potensi pertentangan dan konflik sosial budaya”. Hal lain juga yang berkaitan dengan pembentukan “nation character” adalah perlunya masyarakat Indonesia (dan masyarakat adat khsususnya) untuk memperjuangkan hak budaya dan kebangsaannya (kesukubangsaannya) yang bersifat universal dan kodrati dalam persepsi konsepsi “tanah adegan”. Selain memperjuangkan hak-hak atas tanah ulayatnya (sebagai konsepsi dari “tanah amparan”). Dengan demikian adanya Upacara Adat Seren Taun di Cigugur, selain sebagai manifestasi ungkapan rasa syukur umat insani yang religius di kalangan masyarakat Sunda dan lainnya, juga memiliki dimensi perspektif lain yang berkaitan dengan aspek kebangsaan terutama dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.

Seren Taun Cigugur tidak hanya menjadi penanda dari eratnya jalinan antar para penduduk setempat, tetapi juga dengan berbagai masyarakat adat, bangsa dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Penghayat Keperyaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Keadaaan ini pada kenyataannya tidak hanya melibatkan warga yang tinggal di Cigugur saja, upacara adat tahunan ini juga dipadati oleh warga yang datang dari di Bandung, Sumedang, Garut, Ciawi, Ciamis, Tasik, Cirebon dan daerah Jawa Barat lainnya (bahkan ada yang dari luar Jawa Barat). Mereka bekerja bersama-sama mempersiapkan kelengkapan upacara dan melaksanakan seluruh rangkaian prosesi ritual dengan penuh khidmat dalam suasana gotong royong.

Tradisi Upacara Seren Taun di Cigugur-Kuningan

Seren Taun merupakan tradisi permohonan syukur masyarakat khususnya Jawa Barat sebagai masyarakat agraris kepada Sang Pencipta Kehidupan. Tradisi ini dapat dijumpai di beberapa masyarakat adat di Jawa Barat-Banten seperti di ; masyarakat Kanekes, Sumedang Larang (Ranca Kalong), Kampung Naga-Tasik, Cipta Gelar-Sukabumi dll. Upacara Seren Taun yang diselenggarakan di Cigugur Kuningan Jawa Barat menjadi menarik untuk didiskusikan karena merupakan potret kehidupan sosial masyarakatnya. Menjadi unik karena pelaksanaan Seren Taun di Cigugur dapat melibatkan semua unsur yang ada di masyarakat tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin dan usia.

Kehidupan masyarakat Cigugur yang menghargai keberagaman tidak hanya tampak pada event budaya Seren Taun yang diselenggarakan sekali dalam setahun, tetapi lebih dari itu nilai-nilai kebersamaan , kerukunan dalam perbedaan sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Sepekan sebelum prosesi upacara Adat Seren Taun berlangsung diawali dengan Pesta Dadung yang berlokasi di Situ Hyang pada Pagi hari setelah fajar tiba. Kawasan Situ Hyang merupakan sebuah kawasan pebukitan yang dikelilingi bebatuan, yang konon menurut masyarakat di sekitar kawasan tersebut terkenal cukup angker. Inti dari Pesta Dadung adalah membuang hama. Penggunaan Dadung atau tambang besar yang terbuat dari ijuk, mengekspresikan rasa terima kasih masyarakat kepada anak gembala.

Nyanyian yang berisi permohonan berkah, agar petani, gembala, ternak dan sawah diselamatkan dari mara bahaya, menjadi pembuka acara ini. Setelah itu, barulah hama sawah dibuang ke lubang di Situ Hyang, yang konon sejak dahulu memang menjadi tempat membuang hama. Pesta Dadung diakhiri dengan tarian oleh beberapa orang petani. Satu ungkapan kegembiraan untuk menghibur petani yang selama setahun bekerja memeras keringat, mengolah sawah dalam terik dan hujan. Menanam bibit pohon juga menjadi bagian dari Pesta Dadung. Satu bentuk keramahan dan kecintaan penduduk pada alam, yang sehari-hari menopang hidup mereka.

Tidak hanya berhenti di Pesta Dadung, keesokan harinya pusat kegiatan berpindah ke Balong Girang (kolam alami di hulu air) Cigugur. Selepas tengah hari, penduduk pedesaan berkumpul dihibur oleh Nyiblung, musik yang dihasilkan dari tepukan-tepukan tangan di air kolam. Musik air yang dimainkan oleh tangan pemainnya dan dilombakan oleh warga setempat terdengar berdebum riuh rendah. Gelak tawa, sorak-sorai suara dan tepuk tangan penonton berpadu dengan ramainya suara-suara musik air.

Hari-hari berikutnya selama sepekan sebelum prosesi puncak upacara adat seren taun, biasanya diadakan atraksi atau pegelaran kesenian tradisonal dari beragam daerah di Jawa Barat seperti (Seni Jentreng Tarawangsa Sumedang Larang, Ronggeng Gunung dari Ciamis, Angklung Baduy dari Baduy atau Kanekes, Musik Rendo dan Beluk dari Baduy, Gending Karesmen atau sendar tari, tembang klasik Sunda dan sebagainya). Pada siang dan sore hari selama sepekan itu juga suka diadakan pameran berbagai hasil kerajinan masyarakat daerah berupa, batik, anyaman, ukiran serta sajian makanan tradisional khas Cigugur seperti peuyeum ketan (tape ketan), gemblong(sejenis keripik singkong) dan sebagainya. Di sela-sela kegiatan berbagai pegelaran seni tradisonal dan pameran seni tersebut juga suka diadakan dialog antar masyarakat adat, agam dan kepercayaan yang umumnya mengupas tentang permasalahan sosial dan budaya yang dialami di masing-masing daerah. Dialog itu biasanya juga berlangsung dalam suasana hangat kekeluargaan, saling berbagai pengalaman dan saling membantu mencari solusi untuk disikapi bersama-sama.

Malam sebelum pelaksanaan upacara Seren Taun, biasanya juga diadakan upacara ritual adat ngareremokeun dari masyarakat Kanekes, ritual lagu-lagu dari masyarakat Dayak Losarang Indramayu dan diakhiri dengan tari Badaya Nyi Pwah Aci Sang Hyang Sri oleh penari wanita.

Pagi hari tanggal 22 Rayagung tahun Saka Sunda, seiring dengan terbitnya sang fajar dimulailah prosesi puncak tradisi upacara Adat Seren Taun. Upacara dimulai dengan gempitanya alunan musik goong renteng sebagai pertanda bahwa prosesi upacara adat akan segera dimulai. Alunan musik goong renteng tersebut mengalun bergema seolah menyiratkan suasana kegembiraan warga adat Cigugur untuk memulai pesta adat agrarisnya. Setelah itu terdengar alunan musik kecapi suling melantunkan lagu rajah bubuka yang diiringi penuturan pembawa acara dengan lagam puisi menjelaskan makna singkat tentang maksud penyelenggaraan upacara adat Seren Taun.

Selanjutnya atraksi pergelaran angklung Baduy yang dimainkan oleh sekitar sepuluh orang suku Baduy. Seni angklung Baduy pun seperti biasa dilakukan di masyarakat baduy/kanekes dalam pesta panen adat berlangsung. Kemudian diteruskan dengan pesembahan tari buyung sebagai tarian kreasi tradisional khas Cigugur yang ditarikan oleh belasan wanoja (gadis-gadis) Cigugur. Formasi para penari bergerak dari berbbagi arah penjuru mata angin sesuai dengan masing-masing rombongan prosesi upacara. Tarian buyung ini menyiratkan makna “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Selesai pergelaran tari buyung kemudian acara dilanjutkan dengan pergelaran angklung buncis dari Cigugur yang dipergelarkan oleh ratusan pemuda Cigugur sambiol menabuh angklung dan reog atau dog-dog (sejenis alat tabuh berupa kendang berbagai ukuran yang hanya ditutupi kulit binatang pada satu sisi lingkaran kayunya). Bersamaan dengan ditabuhnya alat musik angklung buncis dan reog ini dipergelarkan tarian formasi panji-panji warna-warni oleh para pemuda juga mengikuti alun musik yang bergema dan bergemuruh itu.

Setelah berakhirnya pergelaran musik angklung buncis yang datang atau bergerak dari berbagai penjuru arah mata angin itu,kemudian prosesi upacara berupa ngajayak. Dimana dari masing-masing penjuru tadi bergerak serombongan lulugu dan muda-mudi berpasangan (laki-laki dan perempuan) sejumlah sebelas pasang membawa hasil bumi dalam tampah anyaman bambu. Biasanya gadis-gadis perempuan yang membawa hasil bumi berkebaya putih dan berkain batik rereng dan dipayungi oleh payung janur oleh para pemudanya berpakain baju takwa putih, celana hitam dan berdodot kain batik pula. Rombongan sebelas pasang muda-mudi pembawa hasil bumi dari berbagai penjuru tadi diringi dari belakang oleh rombongan ibu-ibu membawa padi ditampah atau disimpan di tampah dan di bawa di atas kepala (bhs. Sunda= disuhun), dan dibelakang ibu-ibu terdapat bapak-bapak yang memikul beras dan hasil bumi lainnya (buah-buahan dan umbi-umbian) dengan alat ­rengkong, dongdang dan jampanan. Rombongan ibu-ibu mememaki baju kebaya koko putih dan berkain sinjang batik, sementara bapak-bapak berpakaian kampret hitam-hitam dan berikat kepala kain batik berpola umumnya tutup liwet.

Prosesi dari semua rombongan upacara itu bergerak diiringi oleh gamelan goong renteng bergerak masuk ke ruang Pendopo Gdeung Paseban Tri Panca Tunggal. Selanjutnya hasil bumi yang dibawa lulugu dan sebelas pasang muda-mudi itu secaar bergiliran dipersembahkan dan diterimakan kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh berbagai gama dan kepercayaan, dan tokoh aparat pemerintahan. Sementara rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak bergerak langsung ke tempat penumbukan padi atau panutuan. Ketika prosesi penerimaan hasil bumi diterima oleh para tokoh masyarakat dan aparat tadi, alunan musik gamelan bernama goong S imonggang sayup-sayup merdu terdengar mengiringi alunan tembang-tembang atau lagu-lagu babarit (kidung buhun) yang dinyanyikan oleh rampak sekar (paduan suara) orang-orang tua.

Klimaks dari puncak upacara seren taun ini adalah sambutan-sambutan tokoh Adat Cigugur (Pangeran Djati Kusumah, cucu Pangeran Madrais), tokoh aparat pemerintahan dan perwakilan dari lembaga nasional atau dunia yang kebetulan hadir pada waktu itu. Kemudian termasuk doa bersama dari masing-masing perwakilan tokoh agama dan kepercayaan sebagai wujud Ketunggalan dalam kebhinekaan dalam bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya prosesi bertahap berakhir ketika para tokoh dan pejabat memasuki area penumbukan padi dan menumbuk padi bersama untuk kemudian diikuti oleh seluruh warga yang mengikuti keseluruhan upacara adat seren taun itu. Sebagai tambahan penjelasan bahwa biasanya padi yang ditumbuk oleh masyarakat secara masal dalam puncak akhir proses upacara adat seren Taun itu sekitar 20 kwintal padi, sedangkan 2 kwintal padi lainnya di simpan di lumbung padi dan dibagikan ke para warga yang hadir dan petani dalam bentuk wayang-wayangan padi. Keseluruhan upacara berlangsung sejak pagi sampai sore hari.

~~~~~

“Kebebasan Berkeyakinan dalam Konteks Masa Depan Kebangsaan Indonesia”

Kebebasan pada pengertian lain bisa berarti kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud adalah suatu cita-cita nan luhur atas sebuah kebebasan dari suatu kondisi yang mengekang, keterkungkungan, pendiskriminasian, ketertindasan atau keterjajahan. Kalaulah dikaitkan dengan hakekat kehidupan manusia, ada yang mengatakan bahwa seorang anak manusia lahir ke dunia adalah merupakan pribadi yang bebas. Karena anak manusia yang terlahir tersebut tidak pernah berpikir akan terlahir dari suku mana, ras mana, bangsa mana, kelas sosial mana, agama apa bahkan bebas dari keharusan untuk tidak beragama sekalipun. Ada kalimat yang menyebutkan bahwa;

Manusia ditakdirkan lahir berbeda-beda. Seseorang tidak dapat memilih dari ibu-bapak, suku, latar belakang sosial atau bangsa mana ia akan lahir.Perbedaan itu tidaklah memberi hak kepada siapapun untuk melakukan diskriminasi hanya karena asal-usul seseorang.”

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan diantaranya : “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Kemerdekaan yang direbut para pahlawan bangsa adalah kebebasan atau kemerdekaan dari kolonialisasi penjajah bangsa asing pada masa itu. Kebebasan atau perjuangan kemerdekaan pasca revolusi kemerdekaan dan selanjutnya adalah perjuangan kebebasan sebagai suatu orientasi kemerdekaan dari keterkungkungan akan “kekuasaan atau pengaruh bangsa dan ideologi lain” yang tidak sejalan dengan Cita-Cita atau amanat Proklamasi Kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Kebebasan berkeyakinan dalam pandangan umum, biasanya mengasumsikan terhadap kebebasan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebebasan beragama. Padahal “pesan yang tersirat” dari kebebasan berkeyakinan dimaksud adalah selain kebebasan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebebasan beragama, juga kebebasan berkeyakinan sebagai individu yang berkepribadian dan berkesadaran sebagai manusia dengan segenap cara dan cirinya. Selain itu juga kebebasan berkeyakinan selaku individu yang berbangsa atau memiliki kesadaran berbangsa. Singkatnya bahwa kebebasan berkeyakinan yang dimaksud adalah kebebasan untuk yakin terhadap pribadinya sebagai manusia dan bangsa dengan cara dan cirinya dan kebebasan berkeyakinan untuk percaya dan sadar akan kekuasaan di luar kehendak sdan kekuasaan manusia itu sendiri.

Dua konsep yang berkaitan antara “kebebasan” dan “berkeyakinan” dengan pemaknaan tadi, sehingga memunculkan suatu frase “kebebasan berkeyakinan”, tentunya menimbulkan pertanyaan besar sebelum berlanjut pada kata atau kalimat selanjutnya pada judul tersebut di atas. Pertama; Apakah ada ketidakbebasan dalam berkeyakinan ? Kalaulah ada mengapa bisa terjadi demikian ? Atau mengapa orang tidak bebas berkeyakinan terhadap “Tuhan atau Sesuatu yang diyakininya” sebagai ekspresi identitas kebudayaan dan kebangsaannya (termasuk sukubangsa) ? Siapa atau apa yang menyebabkan ketidakbebasan berkeyakinan tersebut ?

Kebangsaan yang berasal kata dari bangsa adalah suatu kondisi suatu bangsa yang dirasakan atau dimaknai dari kesadaran individu. Sejauhmana individu itu mampu memaknai dan menyadari kebangsaannya, maka sejauhmana pula individu tersebut menjaga dan memperjuangkan kehormatan kebangsaannya itu. Karena kesadaran dalam memperjuangkan kebangsaan oleh individu juga termasuk kesadaran individu manusia atas kepercayaan terhadap “Tuhan” yang menciptakannya menjadi bangsa tersebut. Melupakan aspek kebangsaan dalam perjuangan hidup individu manusia manapun adalah suatu sikap yang tidak mencerminkan keyakinan seseorang yang berkepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya.

Indonesia adalah satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek berkebudayaan di dalamnya terkandung aspek religius atau aspek berkepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya. Kalaulah kita merujuk pada keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara, Indonesia Tercinta, berarti kita akan melihat keanekaragaman berkepercayaan terhadap Tuhan dengan segala ekpresi budaya spiritual dalam berbagai ritual yang dilakukannya. Kesemua kehidupan berkepercayaan itu kemudian dijadikan landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pengingkaran apalagi pendiskriminasian terhadap suatu keyakinan atau kepercayaan yang hidup dan berkembang di Bumi Nusantara, Indonesia Tercinta, sesungguhnya adalah sebagai sikap individu yang tidak percaya terhadap Tuhan yang diyakininya itu dan menolak kemanusiaan dan kebangsaanya sendiri. Lebih lugas bisa dikatakan bahwa sikap individu atau kelompok yang menafikan, mendiskriminasikan atau menjadikan tidak bebasnya individu atau masyarakat lain dalam berkepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya dengan segenap aspek ritual dan spritualnnya, adalah sikap invidividu atau kelompok yang tidak berperikemanusiaan dan berjiwa kebangsaan Indonesia. Orang atau individu dan kelompok yang bersikap demikian bisa dikatakan sebagai “penjajah” bagi bangsanya sendiri.

Sebagai simpulan bahwa selama ada upaya dan perjuangan untuk “kebebasan berkeyakinan” berarti masih adanya “penjajahan” dalam berkeyakinan itu sendiri. Baik penjajahan terhadap pribadi manusia, terhadap bangsa dan kebangsaanya serta terhadap kepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya. Selanjutnya bahwa Kebebasan Berkeyakinan dalam konteks Masa Depan Kebangsaan Indonesia adalah :

  1. Keadaan dimana terbangunnya kesadaran individu sebagai manusia yang harus berperikemanusiaan dengan segenap cara dan cirinya
  2. Tumbuhnya kesadaran berkebangsaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dalam berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut budaya spiritual dan keyakinan dari masing-masing kepercayaan yang dianutnya.

3. Suatu kondisi dimana berkeyakinan bagi setiap warga bangsa Indonesia adalah berkeyakinan yang saling memerdekakan keyakinan satu dengan lainnya untuk bersama-sama mewujudkan kedamaian di Nusantara dan dunia pada umumnya.

Rahayu Bangsaku

Mulya Bangsaku

Indonesia Tanah Air Bhinneka Tunggal Ika

*****

Hotel Golden, Jakarta, 03 Agustus 2007

SENI TRADISIONAL DAN MASYARAKAT SUNDA (versi rangkuman)

Tumbuh dan berkembangnya suatu kesenian, di dalam dinamika sosial budaya masyarakat menghadapi perkembangan jaman, akan sangat tergantung pada kreator seni atau seniman dan juga apresiasi masyarakat pendukungnya. Menurut berbagai catatan, masyarakat Jawa Barat yang nota bene umumnya berbasiskan budaya Sunda, memiliki kurang lebih 300 jenis kesenian yang tersebar di berbagai kota/kabupaten[1]. Dari kurang lebih 300 jenis kesenian yang pernah hidup itu diantaranya ada yang sedang dalam kondisi “sekarat awal”, “sekarat akhir” atau bahkan ada yang sudah hilang sama sekali. Pasang surut itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Karena karya seni berasal dari “rahim budaya suatu masyarakat baik langsung maupun tidak langsung”, maka perubahan, pasang surut dan tenggelamnya karya seni itu bergantung dari perubahan, pasang surut dan tenggelamnya ciri-ciri budaya kelompok masyarakat bersangkutan. Dengan demikian pula seni tidak bisa sekedar dipandang sebagai L’art pour l’art atau seni untuk seni tetapi seni untuk pelestarian nilai budaya bangsa, bahkan dalam bentuknya yang lain, kesenian (terutama seni tradisional) dapat dijadikan sebagai alat ketahanan budaya bangsa.

Mengenal suatu tradisi kesenian pada masyarakat Sunda, akan berkaitan dengan pengenalan jenis-jenis seni, persebaran dan wilayah masyarakat pengguna, asal-usul dan sejarah perkembangannya, bentuk pertunjukkannya, alat-alat musik yang dipergunakannya, jenis-jenis lagu yang dimiliki, dan juga lingkungan masyarakat tempat berbagai jenis kesenian tersebut tumbuh dan berkembang. Termasuk mengetahui kreatifitas masyarakat dalam menumbuhkembangkan berbagai jenis kesenian tersebut.

Tradisi Seni dan Karya Seni

Manusia pada umumnya dan seorang seniman pada khususnya dilahirkan pada lingkungan yang telah hidup suatu budaya yang di dalamnya terdapat apa yang dinamai “seni masyarakat setempat” (seni tradisi atau seni daerah). Secara sadar dalam perkembangan adaptasinya terhadap lingkungan sosial budayanya, individu termasuk seniman tersebut mulai belajar menghayati dan memahami apa yang disebut seni oleh masyarakatnya. Penyesuaian atau conditioning ini akan menyebabkan mereka menyadari apa dan bagaimana seni itu. Dalam hal ini mereka belajar dari tradisi seni masyarakatnya, mengapresiasinya sehingga seni kadang tidak sekadar sebagai “barang tontonan” tetapi sekaligus sebagai “seperangkat tuntunan” atau sistem nilai budaya.

Menurut PiÖtr Sztompka (2004) bahwa tradisi dalam pengertian sempit berarti bagian-bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan lalu. Dilihat dari aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu. Kemunculan tradisi melalui dua cara yaitu ; pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan kadang tidak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak (istilah untuk tradisi ini adalah the litlle tradition atau tradisi kecil atau tradisi rakyat), kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaaan dari penguasa, raja dan sebagainya (istilah untuk tradisi ini adalah the great tradition atau tradisi agung atau tradisi klasik).

Tradisi seni merupakan sekumpulan warisan mengenai apa dan bagaimana seni itu berdasarkan pemahaman masyarakatnya. Kumpulan warisan seni dapat dipelajari lewat pemahaman sejarah seni dan penghayatan langsung berbagai karya seni warisan tersebut. Meskipun kekayaan warisan karya seni tetap yang itu-itu juga, setiap generasi akan memilih karya mana saja yang “benar-benar bernilai seni”. Sebuah karya seni yang pada generasi sebelumnya tidak begitu dihargai sebagai karya seni yang bermutu, pada generasi berikutnya bisa saja justru dianggap karya seni bernilai unggul. Jadi tidak semua warisan karya seni suatu masyarakat akan dengan sendirinya disebut dan dihargai sebagai ‘tradisi’-nya. Tradisi seni merupakan tradisi terpilih, tradisi selektif berdasarkan penghargaan nilai-nilai seni suatu generasi.

Karya seni dalam masyarakat terdiri dari tiga kategori dilihat dari proses penciptaannya :

1. Karya seni yang setia pada nilai-nilai tradisi. Karya seni yang dianggap lazim oleh kalangan masyarakatnya.

2. Karya seni yang bersifat tradisi tetapi sudah muncul sikap kritis. Karya seni yang memunculkan secara kritis nilai-niai tradisi masyarakat yang tidak begitu banyak diketahui oleh khalayak. Karya demikian memiliki nilai lebih, karena menunjukkan nilai-nilai baru dari sebuah tradisi.

3. Karya seni yang sama sekali menolak tradisi. Karya seni semacam ini dalam banyak hal bertolak belakang dengan tradisi dan nilai-nilai seni yang selama ini dijunjung tinggi masyarakatnya. Kalau nilai-nilai seni yang diajarkan ini benar-benar “otentik”, maka ia akan dihargai sebagai karya agung dalam tradisi. Karya demikian itu merupakan “pohon” baru dalam khazanah “hutan tradisi seni” dan budaya masyarakatnya.

EPILOG

Harapan ke depan bahwa generasi intelektual (mahasiswa unpad) khususnya anggota LISES UNPAD tidak melupakan pada akar budaya masing-masing “rahim budaya lokal”nya ( misalnya : kebudayaan Sunda). Ini penting sebagai dasar pembentukan karakter bangsa dan pembentukan watak budi luhur yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pada gilirannya LISES UNPAD tidak sekedar mendidik dan menciptakan karya dan kreator seni tradisional dan kreasi Sunda, tapi lebih dari itu menciptakan “ponggawa-ponggawi budaya Sunda” yang berwawasan multi keilmuan dan cinta terhadap “lemah caina dan wandana sorangan”.

Mengenal seni tradisional tidak berarti kita harus terjebak pada ideologis tradisionalisme buta. Agaknya sikap ideologi yang paling pantas terhadap tradisi khususnya tradisi seni (tradisional) adalah tradisi tang berpandangan kritis terhadap tradisionalisme itu sendiri. Pandangan kritis dimaksud adalah bersikap analitis dan skeptis terhadap manfaat dan mudharatnya tradisi di setiap kasus konkret, dengan memerhatikan kadar dan lingkungan historis pengaruhnya. Sikap semacam ini menghindarkan diri dari taklid buta terhadap tradisi secara dogmatis dengan tidak mengabaikan peran tradisi termasuk seni tradisi yang menguntungkan.

“..geus lain wayahna.. Jati kudu kasilih ku junti..

Tapi wayahna Kujang tembong Pamorna, Sumirat tembong Srangengena..nyaangan sa Alam Buwana..”

Cag. Rampes..


[1] Deskeripsi Kesenian Jawa Barat, Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan dkk., 2003.

Ki Sunda Menyikapi Tantangan Jaman

Melihat perkembangan kehidupan bangsa Indonesia terutama dari persaingan budaya (kalaupun tidak dikatakan perang antar budaya seperti dikatakan oleh Samuel Hattington sebagai “culture war”) semakin lama semakin ”seru”. Alat-alat propaganda persaingan budaya telah menjadi semacam ”alat perang” baik disadari ataupun tidak disadari oleh masyarakat penikmat media elektronik. Berbagai media elektronik seperti televisi, radio, jaringan televisi yang mendunia, internet, hp multi media serta produk-produk yang dihasilkannya seperti berbagai tayangan iklan produk-produk barang, film, bintang film, musik, fashion dan sebagainya seolah menjadi ”kebutuhan” untuk terus bersaing baik dengan sesama maupun ”orang lain”.

Sangatlah tipis membedakan batas budaya pada era kekinian, ketika masyarakat di pedesaan sudah menggandrungi fried chicken yang sama dikonsumsi dengan warga masyarakat di perkotaam bahkan di luar negeri. Susah membedakan ciri budaya fisik kaum bule dengan kaum ”penggila mode” yang terbuai untuk selalu tampil berkulit putih, berambut pirang atau berwarna berpakaian merek terkenal dan ”bergaya funky”. Sudah tidak jelas lagi antara si Uneh dan si Margareth atau antara si Ujang dengan si Stephen. Ini kalau kita lihat dari budaya dominan ”western” yang lebih mudah membuai melalui mode dan iklan televisi. Namun tidak hanya ”western culture”, budaya bangsa lain pun yang masuk melalui syiar keagamaan atau pendekatan ekonomi sehingga seolah kita tidak bisa membedakan antara ”ahmad sahid saefullah” itu adalah orang Bandung ataukah orang Timur Tengah, atau Siti Mutmainah orang Padasuka dengan orang Pakistan dilihat dari penampilan ”budaya materi’ yang dipakainya. Hal itu menjadi wajar bahkan telah ”membudaya”. Itulah sempilan wajah ”Ki Sunda kini”.

Suatu ketika di masa kini saat berjalan-jalan di ruang-ruang pedalaman perkampungan, jarang dilihat anak-anak bermain congklak, dam-daman, maen kaleci atai pinci, dan ”kaulinan budak lembur” lainnya. Semua tergantikan dengan playstation, sega dan game-game anak-anak di mall. Padahal ”kaulinan barudak lembur” mengandung unsur budaya setempat baik dari unsur seni suara, musik, strategi, kebersamaan dan merangsang kreativitas anak. Selain tentunya anak-anak dikenalkan pada lingkungan alamnya dan ”murah meriah” kalau dilihat dari sisi ekonomi. Tidak jarang juga adanya kasus pemerkosaan antar anak-anak sebagai dampak dari ”terbukanya” ruang budaya luar yang tidak layak dikonsumsi oleh perkembangan usia anak-anak seperti dampak dari sinetron yang tidak mendidik, termasuk film-film dan VCD khusus orang dewasa yang dijual bebas sampai ke pelosok perdesaan atau perkampungan. Nampak juga adanya perilaku anak-anak yang ”dianggap” kurang sopan ketika mereka berkomunikasi atau bersikap baik sesama bahkan dengan orang yang lebih tua, yang katanya tiu sebagai dampak demokrasi atau kebebasan berpendapat (?). Sehingga bilamana guru, orang tua atau orang yang lebih tua menegur, mensihati, memperingatkan anak-anak yang berperilaku ”menyimpang” dengan norma dan etika masyarakat setempat maka tidak jarang anak-anak itu berani menentang atau ”nembalan” sebelum betul-betul mencerna atau mendengarkan (Bhs Sunda; ngaregepkeun). Ironisnya orang tua dari anak yang ”nembalan” itu tidak marah atau tidak menganggap perilaku anaknya tesebut sebagai perilaku tidak sopan atau kurang ajar, tetapi sebagai sikap ”keterbukaan” dan ”baik dan cerdas”. Bahkan bilamana anak tersebut ada yang menegur untuk memeperingatkan bahwa perilaku itu tidak baik atau kurang sopan, maka orang tuanya tidak terima dengan alasan ”yang gak jelas” atau dianggap bahwa sikap anaknya itu gak perlu dipermasalahkan (”namanya juga anak-anak”). Jadi di satu sisi anak-anak sudah ”tercekoki” dengan dunia permainan ”budaya luar” yang serba ”individualis dan konsumtif”, seperti game di hp yang menyebabkan anak asik sendiri dan game-game di mall serta playstation yang tidak sedikit ”gocek” harus dikeluarkan yang memicu ”adrenalin” kepuasaan sesaat. Di satu pihak ”ideologi” perilaku ”gaul” yang salah karena dampak tayangan televisi dan lingkungan yang sudah ”terkontaminasi budaya luar” yang tidak sesuai dengan budaya setempat menjadikan generasi muda sejak anak-anak telah ”terasuki enemy culture”.

Akhir-akhir ini kalau kita menyimak berbagai tayangan televisi, cenderung menayangkan ”budaya kekerasan” seperti pembunuhan, konflik, pemerkosaan, penggusuran rumah dan pedagang kaki lima dan sebagainya. Seolah tayang tersebut merupakan tayangan yang memiliki rating penyiaran yang tinggi dan ”perilaku tayangan” tersebut seperti menu keseharian pemirsa. Sementara di lain pihak adanya ”tayangan budaya daerah” hanya menjadi pemanis rangkaian berbagai liputan News atau bahkan kalaupun ditayangkan secara fulltime ditempatkan pada jam malam dimana orang sudah banyak yang terlelap di peraduannya masing-masing. Pertanyaannya ”niat gak sih” televisi menayangkan ”nuansa budaya daerah yang memiliki nilai luhur” tersebut ? ataukah hanya sekedar untuk dicap bahwa televisi mereka sebagai ”televisi Indonesia” sehingga ”yang penting sekedar ada” tayangan budaya daerah itu ? mengapa juga bukannya tayangan yang menampilkan kedamaian, kebersamaan dalam kebhinekaan, toleransi antara budaya, agama dan masyarakat yang berbeda yang harus ditonjolkan dalam tayangan TV. Kadang alasan yang menyanggah untuk mendukung pembenaran alasan penayangan ”kekerasan sebagai menu utama” adalah karena informasi yang dianggap ”berita” justru adalah yang ”menyimpang, aneh” dari kehidupan sehari-hari atau norma-norma yang tumbuh di masyarakat. Selain itu sering terdapat argmentasi bahwa tayangan budaya daerah atau lokal ”dianggap tidak laku” atau ”tidak disukai” pasar. Sehingga berdampak tidak ada pemasukan iklan atau ratingnya rendah, yang ujung-ujungnya merugikan dunia pertelevisian dalam ”persaingan bisnis informasi dan teknologi komunikasi dalam media elektronik”.

Beberapa penjelasan permasalahan kekinian yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia di atas, tentunya juga terjadi dalam masyarakat Ki Sunda (etnis Sunda). Karena tentunya sekelumit gambaran permasalahan di atas lebih diungkap dari realita kehidupan lingkungan masyarakat kultur Sunda. Barangkali banyak tanggapan yang berbeda menyikapi sekelumit fenomena tersebut, hanya saja dalam kaitan dengan pentingnya mempertahankan eksistensi Ki Sunda dalam kesadaran ”persaingan budaya” masa kini belum secara sungguh-sungguh dan serempak disikapi baik oleh kalangan masyarakat sendiri dan para elite dan tokoh masyarakat Sunda sendiri. Adanya usaha yang sedang dan sudah dilakukan untuk menyikapi tantangan gambaran feomena di atas dalam upaya ”membangun Ki Sunda” oleh beberapa tokoh, kalangan masyarakat baik masyarakat adat dan organisasi formal dan informal belum menampakan hasil yang memuaskan berbagai pihak. Adanya pengghargaan anugerah budaya Sunda kepada beberapa tokoh seniman dan budayawan sebatas ceremonial belaka. Adanya perlombaan atau pasanggiri MOKA (Mojang Jajaka), pasanggiri kesenian Sunda dan pasanggiri budaya Sunda lainnya hanya untuk popularitas individu atau organisasi penyelenggara semata. Adanya diskusi dan seminar bertemakan ”kasundaan” hanya sebatas seminar, sesudah itu ”menguap” tidak ada tidak lanjut atau implementasi yang jelas. Organisasi-organisasi yang pada awal pendiriannya disemangati dengan jiwa patriotis perjuangan Ki Sunda menjadi ”melempem” tidak ada perkembangan hasil gerak organisasi yang akumulatif, bahkan cenderung ”hirup teu neut, paeh teu hos”. Hal ini terbukti dari keanggotaan dari organisasi yang kian menyusut, padahal suatu gerka organisasi formal ditentukan oleh banyaknya sumber daya manusia yang didukung oleh kualitas dari sumber daya yang dibentuk dalam pengkaderan oleh masing-masing organisasi tersebut. Kesenjangan antara golongan intelektual Ki Sunda generasi tua atau ”senior” dengan yang muda atau ”yunior” tidak menampakkan kondisi yang mengarah pada ”kebersamaan” dan atau saling berbagi kesempatan berkiprah. Bahkan tidak jarang budaya feodalistik bukan hanya terjadi pada masa kerajaan kuno masa lalu tapi juga terjadi dalam kehidupan urban atau perkotaan.

Barangkali ada beberapa solusi dalam menyikapi maslah di atas dalam kaitan dengan ”menerapkan Ki Sunda” pada era kekinian dan masa datang. Meski mungkin solusi-solusi dimaksud berangkat dari hal-hal yang kecil, sederhana dan sudah ada yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah metoda mengenal ”saha kuring, kuring urang mana, rek kamana kuring kudu jeung kuring kudu kumaha”. Melihat metode tersebut, sepertinya sudah tidak asing lagi ditelinga ”urang Sunda”. Bahkan seolah tidak dianggap sesuatu yang dipentingkan dari metode ungkapan tersebut. Padahal kalau kita (urang Sunda khususnya) betul-betul meresapi dan merenungkan secara mendalam atau ”ngalenyepan” dari ungkapan metode tersebut tidaklah sulit hanya mungkin sulit dalam mempraktekkan dalam ”konteks persaingan budaya” saat ini. Kesulitan itu dilantarankan karena kebanyakan ”urang Sunda” sudah terjebak pada kondisi ”keglamouran budaya luar” seperti ungkapan ”jati kasilih ku junti”. Hanya saja sejauhmana ”urang Sunda” itu menyadari hal itu belum ada penelitian yang pasti. Hal ini hanya berupa asumsi yang berangkat dari pengamatan sehari-hari bahwasannya ”urang Sunda” sebagai bagian dari Ki Sunda sudah mengutamakan ”gengsi, trendi, necis, gaul, modern, dan agamis” dibandingkan dengan upaya untuk betul-betul ”ngalenyepan” metode dari ungakapan sederhana dan umum di atas. Mungkin mereka yang bersikap dan berprasangka demikian hanya melihat Ki Sunda dengan ”kacamata yang salah”. Mungkin saja mereka sudah mengerti benar, hanya saja susah memulai darimana dan harus bagaimana. Mungkin saja mereka tahu hanya saja tidak berani menampakkan dalam kehidupan sehari-hari.

PALABUAN RATU

Wayah sareupna sumiliwir angin sagara

Ngagupay mangsa mulang carita

Srangenge teuleum ngeueumkeun diri

Kasampak mega cekas rineka

Sisi basisir lambak paudag-udag

Gumuruh sagara maturan rasa

Bentang kumelip ngiceupan nu ngalanglang

Matapan di waruga jati

Lambak makplak sajajar ngagelar

Pabalap nambagan karang

Nu pageuh nanceb nurus bumi

Makuan wates sagara jeung patapan

Wening ati buleud harepan

Deuk mikukuh talatah nu katunda

Dina raga waruga nagara

Dina rasa wiwaha manusa Sunda

Najan nyawang kumalangkang mangsana jaga

Najan miang taya nu nanya kamana

Najan hariwang gumawang na tandang

Laratan baris disorang jeung dilanglang

Wayahna nu anggang kasorang

Kaceluk ku tutur karuhun

Ngajugjug ka palabuan ratu

Nu dumuk Hyang rumuhun nu agung

Muga muka lawang saketeng

Muga megar wanda nu anyar

Dibarung guruh galura sagara

Diwasuh ku lambak Ratu

Muga lumungsur raja tangtu

Ngawaris wangsit pitutur laku

Ahung Arum Guntur Madu

Ahung Ratu Agung Tangtu Buwana

Ahung Prebu Jagat Sagara

Ahung Hyang Prebu Siliwangi

Rahyang Kujang Kajene

Samudra Beach Hotel, 22 Januari 2008