Kamis, 08 Januari 2009

SENI TRADISIONAL DAN MASYARAKAT SUNDA (versi rangkuman)

Tumbuh dan berkembangnya suatu kesenian, di dalam dinamika sosial budaya masyarakat menghadapi perkembangan jaman, akan sangat tergantung pada kreator seni atau seniman dan juga apresiasi masyarakat pendukungnya. Menurut berbagai catatan, masyarakat Jawa Barat yang nota bene umumnya berbasiskan budaya Sunda, memiliki kurang lebih 300 jenis kesenian yang tersebar di berbagai kota/kabupaten[1]. Dari kurang lebih 300 jenis kesenian yang pernah hidup itu diantaranya ada yang sedang dalam kondisi “sekarat awal”, “sekarat akhir” atau bahkan ada yang sudah hilang sama sekali. Pasang surut itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Karena karya seni berasal dari “rahim budaya suatu masyarakat baik langsung maupun tidak langsung”, maka perubahan, pasang surut dan tenggelamnya karya seni itu bergantung dari perubahan, pasang surut dan tenggelamnya ciri-ciri budaya kelompok masyarakat bersangkutan. Dengan demikian pula seni tidak bisa sekedar dipandang sebagai L’art pour l’art atau seni untuk seni tetapi seni untuk pelestarian nilai budaya bangsa, bahkan dalam bentuknya yang lain, kesenian (terutama seni tradisional) dapat dijadikan sebagai alat ketahanan budaya bangsa.

Mengenal suatu tradisi kesenian pada masyarakat Sunda, akan berkaitan dengan pengenalan jenis-jenis seni, persebaran dan wilayah masyarakat pengguna, asal-usul dan sejarah perkembangannya, bentuk pertunjukkannya, alat-alat musik yang dipergunakannya, jenis-jenis lagu yang dimiliki, dan juga lingkungan masyarakat tempat berbagai jenis kesenian tersebut tumbuh dan berkembang. Termasuk mengetahui kreatifitas masyarakat dalam menumbuhkembangkan berbagai jenis kesenian tersebut.

Tradisi Seni dan Karya Seni

Manusia pada umumnya dan seorang seniman pada khususnya dilahirkan pada lingkungan yang telah hidup suatu budaya yang di dalamnya terdapat apa yang dinamai “seni masyarakat setempat” (seni tradisi atau seni daerah). Secara sadar dalam perkembangan adaptasinya terhadap lingkungan sosial budayanya, individu termasuk seniman tersebut mulai belajar menghayati dan memahami apa yang disebut seni oleh masyarakatnya. Penyesuaian atau conditioning ini akan menyebabkan mereka menyadari apa dan bagaimana seni itu. Dalam hal ini mereka belajar dari tradisi seni masyarakatnya, mengapresiasinya sehingga seni kadang tidak sekadar sebagai “barang tontonan” tetapi sekaligus sebagai “seperangkat tuntunan” atau sistem nilai budaya.

Menurut PiÖtr Sztompka (2004) bahwa tradisi dalam pengertian sempit berarti bagian-bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan lalu. Dilihat dari aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu. Kemunculan tradisi melalui dua cara yaitu ; pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan kadang tidak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak (istilah untuk tradisi ini adalah the litlle tradition atau tradisi kecil atau tradisi rakyat), kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaaan dari penguasa, raja dan sebagainya (istilah untuk tradisi ini adalah the great tradition atau tradisi agung atau tradisi klasik).

Tradisi seni merupakan sekumpulan warisan mengenai apa dan bagaimana seni itu berdasarkan pemahaman masyarakatnya. Kumpulan warisan seni dapat dipelajari lewat pemahaman sejarah seni dan penghayatan langsung berbagai karya seni warisan tersebut. Meskipun kekayaan warisan karya seni tetap yang itu-itu juga, setiap generasi akan memilih karya mana saja yang “benar-benar bernilai seni”. Sebuah karya seni yang pada generasi sebelumnya tidak begitu dihargai sebagai karya seni yang bermutu, pada generasi berikutnya bisa saja justru dianggap karya seni bernilai unggul. Jadi tidak semua warisan karya seni suatu masyarakat akan dengan sendirinya disebut dan dihargai sebagai ‘tradisi’-nya. Tradisi seni merupakan tradisi terpilih, tradisi selektif berdasarkan penghargaan nilai-nilai seni suatu generasi.

Karya seni dalam masyarakat terdiri dari tiga kategori dilihat dari proses penciptaannya :

1. Karya seni yang setia pada nilai-nilai tradisi. Karya seni yang dianggap lazim oleh kalangan masyarakatnya.

2. Karya seni yang bersifat tradisi tetapi sudah muncul sikap kritis. Karya seni yang memunculkan secara kritis nilai-niai tradisi masyarakat yang tidak begitu banyak diketahui oleh khalayak. Karya demikian memiliki nilai lebih, karena menunjukkan nilai-nilai baru dari sebuah tradisi.

3. Karya seni yang sama sekali menolak tradisi. Karya seni semacam ini dalam banyak hal bertolak belakang dengan tradisi dan nilai-nilai seni yang selama ini dijunjung tinggi masyarakatnya. Kalau nilai-nilai seni yang diajarkan ini benar-benar “otentik”, maka ia akan dihargai sebagai karya agung dalam tradisi. Karya demikian itu merupakan “pohon” baru dalam khazanah “hutan tradisi seni” dan budaya masyarakatnya.

EPILOG

Harapan ke depan bahwa generasi intelektual (mahasiswa unpad) khususnya anggota LISES UNPAD tidak melupakan pada akar budaya masing-masing “rahim budaya lokal”nya ( misalnya : kebudayaan Sunda). Ini penting sebagai dasar pembentukan karakter bangsa dan pembentukan watak budi luhur yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pada gilirannya LISES UNPAD tidak sekedar mendidik dan menciptakan karya dan kreator seni tradisional dan kreasi Sunda, tapi lebih dari itu menciptakan “ponggawa-ponggawi budaya Sunda” yang berwawasan multi keilmuan dan cinta terhadap “lemah caina dan wandana sorangan”.

Mengenal seni tradisional tidak berarti kita harus terjebak pada ideologis tradisionalisme buta. Agaknya sikap ideologi yang paling pantas terhadap tradisi khususnya tradisi seni (tradisional) adalah tradisi tang berpandangan kritis terhadap tradisionalisme itu sendiri. Pandangan kritis dimaksud adalah bersikap analitis dan skeptis terhadap manfaat dan mudharatnya tradisi di setiap kasus konkret, dengan memerhatikan kadar dan lingkungan historis pengaruhnya. Sikap semacam ini menghindarkan diri dari taklid buta terhadap tradisi secara dogmatis dengan tidak mengabaikan peran tradisi termasuk seni tradisi yang menguntungkan.

“..geus lain wayahna.. Jati kudu kasilih ku junti..

Tapi wayahna Kujang tembong Pamorna, Sumirat tembong Srangengena..nyaangan sa Alam Buwana..”

Cag. Rampes..


[1] Deskeripsi Kesenian Jawa Barat, Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan dkk., 2003.

Tidak ada komentar: