Kamis, 08 Januari 2009

Tradisi Upacara Seren Taun di Cigugur-Kuningan

Seren Taun merupakan tradisi permohonan syukur masyarakat khususnya Jawa Barat sebagai masyarakat agraris kepada Sang Pencipta Kehidupan. Tradisi ini dapat dijumpai di beberapa masyarakat adat di Jawa Barat-Banten seperti di ; masyarakat Kanekes, Sumedang Larang (Ranca Kalong), Kampung Naga-Tasik, Cipta Gelar-Sukabumi dll. Upacara Seren Taun yang diselenggarakan di Cigugur Kuningan Jawa Barat menjadi menarik untuk didiskusikan karena merupakan potret kehidupan sosial masyarakatnya. Menjadi unik karena pelaksanaan Seren Taun di Cigugur dapat melibatkan semua unsur yang ada di masyarakat tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin dan usia.

Kehidupan masyarakat Cigugur yang menghargai keberagaman tidak hanya tampak pada event budaya Seren Taun yang diselenggarakan sekali dalam setahun, tetapi lebih dari itu nilai-nilai kebersamaan , kerukunan dalam perbedaan sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Sepekan sebelum prosesi upacara Adat Seren Taun berlangsung diawali dengan Pesta Dadung yang berlokasi di Situ Hyang pada Pagi hari setelah fajar tiba. Kawasan Situ Hyang merupakan sebuah kawasan pebukitan yang dikelilingi bebatuan, yang konon menurut masyarakat di sekitar kawasan tersebut terkenal cukup angker. Inti dari Pesta Dadung adalah membuang hama. Penggunaan Dadung atau tambang besar yang terbuat dari ijuk, mengekspresikan rasa terima kasih masyarakat kepada anak gembala.

Nyanyian yang berisi permohonan berkah, agar petani, gembala, ternak dan sawah diselamatkan dari mara bahaya, menjadi pembuka acara ini. Setelah itu, barulah hama sawah dibuang ke lubang di Situ Hyang, yang konon sejak dahulu memang menjadi tempat membuang hama. Pesta Dadung diakhiri dengan tarian oleh beberapa orang petani. Satu ungkapan kegembiraan untuk menghibur petani yang selama setahun bekerja memeras keringat, mengolah sawah dalam terik dan hujan. Menanam bibit pohon juga menjadi bagian dari Pesta Dadung. Satu bentuk keramahan dan kecintaan penduduk pada alam, yang sehari-hari menopang hidup mereka.

Tidak hanya berhenti di Pesta Dadung, keesokan harinya pusat kegiatan berpindah ke Balong Girang (kolam alami di hulu air) Cigugur. Selepas tengah hari, penduduk pedesaan berkumpul dihibur oleh Nyiblung, musik yang dihasilkan dari tepukan-tepukan tangan di air kolam. Musik air yang dimainkan oleh tangan pemainnya dan dilombakan oleh warga setempat terdengar berdebum riuh rendah. Gelak tawa, sorak-sorai suara dan tepuk tangan penonton berpadu dengan ramainya suara-suara musik air.

Hari-hari berikutnya selama sepekan sebelum prosesi puncak upacara adat seren taun, biasanya diadakan atraksi atau pegelaran kesenian tradisonal dari beragam daerah di Jawa Barat seperti (Seni Jentreng Tarawangsa Sumedang Larang, Ronggeng Gunung dari Ciamis, Angklung Baduy dari Baduy atau Kanekes, Musik Rendo dan Beluk dari Baduy, Gending Karesmen atau sendar tari, tembang klasik Sunda dan sebagainya). Pada siang dan sore hari selama sepekan itu juga suka diadakan pameran berbagai hasil kerajinan masyarakat daerah berupa, batik, anyaman, ukiran serta sajian makanan tradisional khas Cigugur seperti peuyeum ketan (tape ketan), gemblong(sejenis keripik singkong) dan sebagainya. Di sela-sela kegiatan berbagai pegelaran seni tradisonal dan pameran seni tersebut juga suka diadakan dialog antar masyarakat adat, agam dan kepercayaan yang umumnya mengupas tentang permasalahan sosial dan budaya yang dialami di masing-masing daerah. Dialog itu biasanya juga berlangsung dalam suasana hangat kekeluargaan, saling berbagai pengalaman dan saling membantu mencari solusi untuk disikapi bersama-sama.

Malam sebelum pelaksanaan upacara Seren Taun, biasanya juga diadakan upacara ritual adat ngareremokeun dari masyarakat Kanekes, ritual lagu-lagu dari masyarakat Dayak Losarang Indramayu dan diakhiri dengan tari Badaya Nyi Pwah Aci Sang Hyang Sri oleh penari wanita.

Pagi hari tanggal 22 Rayagung tahun Saka Sunda, seiring dengan terbitnya sang fajar dimulailah prosesi puncak tradisi upacara Adat Seren Taun. Upacara dimulai dengan gempitanya alunan musik goong renteng sebagai pertanda bahwa prosesi upacara adat akan segera dimulai. Alunan musik goong renteng tersebut mengalun bergema seolah menyiratkan suasana kegembiraan warga adat Cigugur untuk memulai pesta adat agrarisnya. Setelah itu terdengar alunan musik kecapi suling melantunkan lagu rajah bubuka yang diiringi penuturan pembawa acara dengan lagam puisi menjelaskan makna singkat tentang maksud penyelenggaraan upacara adat Seren Taun.

Selanjutnya atraksi pergelaran angklung Baduy yang dimainkan oleh sekitar sepuluh orang suku Baduy. Seni angklung Baduy pun seperti biasa dilakukan di masyarakat baduy/kanekes dalam pesta panen adat berlangsung. Kemudian diteruskan dengan pesembahan tari buyung sebagai tarian kreasi tradisional khas Cigugur yang ditarikan oleh belasan wanoja (gadis-gadis) Cigugur. Formasi para penari bergerak dari berbbagi arah penjuru mata angin sesuai dengan masing-masing rombongan prosesi upacara. Tarian buyung ini menyiratkan makna “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Selesai pergelaran tari buyung kemudian acara dilanjutkan dengan pergelaran angklung buncis dari Cigugur yang dipergelarkan oleh ratusan pemuda Cigugur sambiol menabuh angklung dan reog atau dog-dog (sejenis alat tabuh berupa kendang berbagai ukuran yang hanya ditutupi kulit binatang pada satu sisi lingkaran kayunya). Bersamaan dengan ditabuhnya alat musik angklung buncis dan reog ini dipergelarkan tarian formasi panji-panji warna-warni oleh para pemuda juga mengikuti alun musik yang bergema dan bergemuruh itu.

Setelah berakhirnya pergelaran musik angklung buncis yang datang atau bergerak dari berbagai penjuru arah mata angin itu,kemudian prosesi upacara berupa ngajayak. Dimana dari masing-masing penjuru tadi bergerak serombongan lulugu dan muda-mudi berpasangan (laki-laki dan perempuan) sejumlah sebelas pasang membawa hasil bumi dalam tampah anyaman bambu. Biasanya gadis-gadis perempuan yang membawa hasil bumi berkebaya putih dan berkain batik rereng dan dipayungi oleh payung janur oleh para pemudanya berpakain baju takwa putih, celana hitam dan berdodot kain batik pula. Rombongan sebelas pasang muda-mudi pembawa hasil bumi dari berbagai penjuru tadi diringi dari belakang oleh rombongan ibu-ibu membawa padi ditampah atau disimpan di tampah dan di bawa di atas kepala (bhs. Sunda= disuhun), dan dibelakang ibu-ibu terdapat bapak-bapak yang memikul beras dan hasil bumi lainnya (buah-buahan dan umbi-umbian) dengan alat ­rengkong, dongdang dan jampanan. Rombongan ibu-ibu mememaki baju kebaya koko putih dan berkain sinjang batik, sementara bapak-bapak berpakaian kampret hitam-hitam dan berikat kepala kain batik berpola umumnya tutup liwet.

Prosesi dari semua rombongan upacara itu bergerak diiringi oleh gamelan goong renteng bergerak masuk ke ruang Pendopo Gdeung Paseban Tri Panca Tunggal. Selanjutnya hasil bumi yang dibawa lulugu dan sebelas pasang muda-mudi itu secaar bergiliran dipersembahkan dan diterimakan kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh berbagai gama dan kepercayaan, dan tokoh aparat pemerintahan. Sementara rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak bergerak langsung ke tempat penumbukan padi atau panutuan. Ketika prosesi penerimaan hasil bumi diterima oleh para tokoh masyarakat dan aparat tadi, alunan musik gamelan bernama goong S imonggang sayup-sayup merdu terdengar mengiringi alunan tembang-tembang atau lagu-lagu babarit (kidung buhun) yang dinyanyikan oleh rampak sekar (paduan suara) orang-orang tua.

Klimaks dari puncak upacara seren taun ini adalah sambutan-sambutan tokoh Adat Cigugur (Pangeran Djati Kusumah, cucu Pangeran Madrais), tokoh aparat pemerintahan dan perwakilan dari lembaga nasional atau dunia yang kebetulan hadir pada waktu itu. Kemudian termasuk doa bersama dari masing-masing perwakilan tokoh agama dan kepercayaan sebagai wujud Ketunggalan dalam kebhinekaan dalam bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya prosesi bertahap berakhir ketika para tokoh dan pejabat memasuki area penumbukan padi dan menumbuk padi bersama untuk kemudian diikuti oleh seluruh warga yang mengikuti keseluruhan upacara adat seren taun itu. Sebagai tambahan penjelasan bahwa biasanya padi yang ditumbuk oleh masyarakat secara masal dalam puncak akhir proses upacara adat seren Taun itu sekitar 20 kwintal padi, sedangkan 2 kwintal padi lainnya di simpan di lumbung padi dan dibagikan ke para warga yang hadir dan petani dalam bentuk wayang-wayangan padi. Keseluruhan upacara berlangsung sejak pagi sampai sore hari.

~~~~~

1 komentar: