Kamis, 08 Januari 2009

Ki Sunda Menyikapi Tantangan Jaman

Melihat perkembangan kehidupan bangsa Indonesia terutama dari persaingan budaya (kalaupun tidak dikatakan perang antar budaya seperti dikatakan oleh Samuel Hattington sebagai “culture war”) semakin lama semakin ”seru”. Alat-alat propaganda persaingan budaya telah menjadi semacam ”alat perang” baik disadari ataupun tidak disadari oleh masyarakat penikmat media elektronik. Berbagai media elektronik seperti televisi, radio, jaringan televisi yang mendunia, internet, hp multi media serta produk-produk yang dihasilkannya seperti berbagai tayangan iklan produk-produk barang, film, bintang film, musik, fashion dan sebagainya seolah menjadi ”kebutuhan” untuk terus bersaing baik dengan sesama maupun ”orang lain”.

Sangatlah tipis membedakan batas budaya pada era kekinian, ketika masyarakat di pedesaan sudah menggandrungi fried chicken yang sama dikonsumsi dengan warga masyarakat di perkotaam bahkan di luar negeri. Susah membedakan ciri budaya fisik kaum bule dengan kaum ”penggila mode” yang terbuai untuk selalu tampil berkulit putih, berambut pirang atau berwarna berpakaian merek terkenal dan ”bergaya funky”. Sudah tidak jelas lagi antara si Uneh dan si Margareth atau antara si Ujang dengan si Stephen. Ini kalau kita lihat dari budaya dominan ”western” yang lebih mudah membuai melalui mode dan iklan televisi. Namun tidak hanya ”western culture”, budaya bangsa lain pun yang masuk melalui syiar keagamaan atau pendekatan ekonomi sehingga seolah kita tidak bisa membedakan antara ”ahmad sahid saefullah” itu adalah orang Bandung ataukah orang Timur Tengah, atau Siti Mutmainah orang Padasuka dengan orang Pakistan dilihat dari penampilan ”budaya materi’ yang dipakainya. Hal itu menjadi wajar bahkan telah ”membudaya”. Itulah sempilan wajah ”Ki Sunda kini”.

Suatu ketika di masa kini saat berjalan-jalan di ruang-ruang pedalaman perkampungan, jarang dilihat anak-anak bermain congklak, dam-daman, maen kaleci atai pinci, dan ”kaulinan budak lembur” lainnya. Semua tergantikan dengan playstation, sega dan game-game anak-anak di mall. Padahal ”kaulinan barudak lembur” mengandung unsur budaya setempat baik dari unsur seni suara, musik, strategi, kebersamaan dan merangsang kreativitas anak. Selain tentunya anak-anak dikenalkan pada lingkungan alamnya dan ”murah meriah” kalau dilihat dari sisi ekonomi. Tidak jarang juga adanya kasus pemerkosaan antar anak-anak sebagai dampak dari ”terbukanya” ruang budaya luar yang tidak layak dikonsumsi oleh perkembangan usia anak-anak seperti dampak dari sinetron yang tidak mendidik, termasuk film-film dan VCD khusus orang dewasa yang dijual bebas sampai ke pelosok perdesaan atau perkampungan. Nampak juga adanya perilaku anak-anak yang ”dianggap” kurang sopan ketika mereka berkomunikasi atau bersikap baik sesama bahkan dengan orang yang lebih tua, yang katanya tiu sebagai dampak demokrasi atau kebebasan berpendapat (?). Sehingga bilamana guru, orang tua atau orang yang lebih tua menegur, mensihati, memperingatkan anak-anak yang berperilaku ”menyimpang” dengan norma dan etika masyarakat setempat maka tidak jarang anak-anak itu berani menentang atau ”nembalan” sebelum betul-betul mencerna atau mendengarkan (Bhs Sunda; ngaregepkeun). Ironisnya orang tua dari anak yang ”nembalan” itu tidak marah atau tidak menganggap perilaku anaknya tesebut sebagai perilaku tidak sopan atau kurang ajar, tetapi sebagai sikap ”keterbukaan” dan ”baik dan cerdas”. Bahkan bilamana anak tersebut ada yang menegur untuk memeperingatkan bahwa perilaku itu tidak baik atau kurang sopan, maka orang tuanya tidak terima dengan alasan ”yang gak jelas” atau dianggap bahwa sikap anaknya itu gak perlu dipermasalahkan (”namanya juga anak-anak”). Jadi di satu sisi anak-anak sudah ”tercekoki” dengan dunia permainan ”budaya luar” yang serba ”individualis dan konsumtif”, seperti game di hp yang menyebabkan anak asik sendiri dan game-game di mall serta playstation yang tidak sedikit ”gocek” harus dikeluarkan yang memicu ”adrenalin” kepuasaan sesaat. Di satu pihak ”ideologi” perilaku ”gaul” yang salah karena dampak tayangan televisi dan lingkungan yang sudah ”terkontaminasi budaya luar” yang tidak sesuai dengan budaya setempat menjadikan generasi muda sejak anak-anak telah ”terasuki enemy culture”.

Akhir-akhir ini kalau kita menyimak berbagai tayangan televisi, cenderung menayangkan ”budaya kekerasan” seperti pembunuhan, konflik, pemerkosaan, penggusuran rumah dan pedagang kaki lima dan sebagainya. Seolah tayang tersebut merupakan tayangan yang memiliki rating penyiaran yang tinggi dan ”perilaku tayangan” tersebut seperti menu keseharian pemirsa. Sementara di lain pihak adanya ”tayangan budaya daerah” hanya menjadi pemanis rangkaian berbagai liputan News atau bahkan kalaupun ditayangkan secara fulltime ditempatkan pada jam malam dimana orang sudah banyak yang terlelap di peraduannya masing-masing. Pertanyaannya ”niat gak sih” televisi menayangkan ”nuansa budaya daerah yang memiliki nilai luhur” tersebut ? ataukah hanya sekedar untuk dicap bahwa televisi mereka sebagai ”televisi Indonesia” sehingga ”yang penting sekedar ada” tayangan budaya daerah itu ? mengapa juga bukannya tayangan yang menampilkan kedamaian, kebersamaan dalam kebhinekaan, toleransi antara budaya, agama dan masyarakat yang berbeda yang harus ditonjolkan dalam tayangan TV. Kadang alasan yang menyanggah untuk mendukung pembenaran alasan penayangan ”kekerasan sebagai menu utama” adalah karena informasi yang dianggap ”berita” justru adalah yang ”menyimpang, aneh” dari kehidupan sehari-hari atau norma-norma yang tumbuh di masyarakat. Selain itu sering terdapat argmentasi bahwa tayangan budaya daerah atau lokal ”dianggap tidak laku” atau ”tidak disukai” pasar. Sehingga berdampak tidak ada pemasukan iklan atau ratingnya rendah, yang ujung-ujungnya merugikan dunia pertelevisian dalam ”persaingan bisnis informasi dan teknologi komunikasi dalam media elektronik”.

Beberapa penjelasan permasalahan kekinian yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia di atas, tentunya juga terjadi dalam masyarakat Ki Sunda (etnis Sunda). Karena tentunya sekelumit gambaran permasalahan di atas lebih diungkap dari realita kehidupan lingkungan masyarakat kultur Sunda. Barangkali banyak tanggapan yang berbeda menyikapi sekelumit fenomena tersebut, hanya saja dalam kaitan dengan pentingnya mempertahankan eksistensi Ki Sunda dalam kesadaran ”persaingan budaya” masa kini belum secara sungguh-sungguh dan serempak disikapi baik oleh kalangan masyarakat sendiri dan para elite dan tokoh masyarakat Sunda sendiri. Adanya usaha yang sedang dan sudah dilakukan untuk menyikapi tantangan gambaran feomena di atas dalam upaya ”membangun Ki Sunda” oleh beberapa tokoh, kalangan masyarakat baik masyarakat adat dan organisasi formal dan informal belum menampakan hasil yang memuaskan berbagai pihak. Adanya pengghargaan anugerah budaya Sunda kepada beberapa tokoh seniman dan budayawan sebatas ceremonial belaka. Adanya perlombaan atau pasanggiri MOKA (Mojang Jajaka), pasanggiri kesenian Sunda dan pasanggiri budaya Sunda lainnya hanya untuk popularitas individu atau organisasi penyelenggara semata. Adanya diskusi dan seminar bertemakan ”kasundaan” hanya sebatas seminar, sesudah itu ”menguap” tidak ada tidak lanjut atau implementasi yang jelas. Organisasi-organisasi yang pada awal pendiriannya disemangati dengan jiwa patriotis perjuangan Ki Sunda menjadi ”melempem” tidak ada perkembangan hasil gerak organisasi yang akumulatif, bahkan cenderung ”hirup teu neut, paeh teu hos”. Hal ini terbukti dari keanggotaan dari organisasi yang kian menyusut, padahal suatu gerka organisasi formal ditentukan oleh banyaknya sumber daya manusia yang didukung oleh kualitas dari sumber daya yang dibentuk dalam pengkaderan oleh masing-masing organisasi tersebut. Kesenjangan antara golongan intelektual Ki Sunda generasi tua atau ”senior” dengan yang muda atau ”yunior” tidak menampakkan kondisi yang mengarah pada ”kebersamaan” dan atau saling berbagi kesempatan berkiprah. Bahkan tidak jarang budaya feodalistik bukan hanya terjadi pada masa kerajaan kuno masa lalu tapi juga terjadi dalam kehidupan urban atau perkotaan.

Barangkali ada beberapa solusi dalam menyikapi maslah di atas dalam kaitan dengan ”menerapkan Ki Sunda” pada era kekinian dan masa datang. Meski mungkin solusi-solusi dimaksud berangkat dari hal-hal yang kecil, sederhana dan sudah ada yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah metoda mengenal ”saha kuring, kuring urang mana, rek kamana kuring kudu jeung kuring kudu kumaha”. Melihat metode tersebut, sepertinya sudah tidak asing lagi ditelinga ”urang Sunda”. Bahkan seolah tidak dianggap sesuatu yang dipentingkan dari metode ungkapan tersebut. Padahal kalau kita (urang Sunda khususnya) betul-betul meresapi dan merenungkan secara mendalam atau ”ngalenyepan” dari ungkapan metode tersebut tidaklah sulit hanya mungkin sulit dalam mempraktekkan dalam ”konteks persaingan budaya” saat ini. Kesulitan itu dilantarankan karena kebanyakan ”urang Sunda” sudah terjebak pada kondisi ”keglamouran budaya luar” seperti ungkapan ”jati kasilih ku junti”. Hanya saja sejauhmana ”urang Sunda” itu menyadari hal itu belum ada penelitian yang pasti. Hal ini hanya berupa asumsi yang berangkat dari pengamatan sehari-hari bahwasannya ”urang Sunda” sebagai bagian dari Ki Sunda sudah mengutamakan ”gengsi, trendi, necis, gaul, modern, dan agamis” dibandingkan dengan upaya untuk betul-betul ”ngalenyepan” metode dari ungakapan sederhana dan umum di atas. Mungkin mereka yang bersikap dan berprasangka demikian hanya melihat Ki Sunda dengan ”kacamata yang salah”. Mungkin saja mereka sudah mengerti benar, hanya saja susah memulai darimana dan harus bagaimana. Mungkin saja mereka tahu hanya saja tidak berani menampakkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar: