Selasa, 12 Oktober 2010

Siaran Pers Konferensi Internasional Resolusi PBB 1325

Siaran Pers

Asian Women Peacemaker’s Conference

The Inter-faith Perspective in Realizing the Role of Women Peacemaker in the

Implementation of UNSCR 1325

30 September 2010

‘Konferensi Perempuan Asia tentang Perdamaian yang Berperspektif Lintas Iman’ ini merupakan upaya untuk berbagi pengalaman dan menggunakan pengetahuan perempuan untuk membangun perdamaian. Konferensi ini dihadiri oleh organisasi-organisasi perempuan di Asia (Indonesia, Malaysia, India, Philipina, Nepal, Afganistan, Timor Leste) dengan dukungan aktivis perempuan lintas negara (Masyarakat Diaspora yang berdomisili di Belanda: dari Somalia, Burundy, dan Ethiopia) yang memiliki kepedulian terhadap isu perdamaian, khususnya untuk melihat sejauh mana Resolusi PBB 1325 disusun dan diimplementasikan oleh negara-negara. Konferensi ini diselenggarakan oleh: Komnas perempuan, MWPN (Multicultural Women Peacemaker Network), ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), IFOR/WPP (International Fellowship of Reconciliation-Women Peacemakers Program), yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Resolusi PBB 1325 bagi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan telah disahkan Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Oktober 2000 yang secara khusus menitikberatkan dampak perang pada perempuan serta kontribusi perempuan dalam pencegahan konflik dan upaya membangun perdamaian. Resolusi PBB 1325 adalah hukum internasional yang memandatkan negara-negara anggota PBB untuk mengimplementasikannya. Resolusi ini menjadi dasar untuk memastikan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di wilayah konflik dan menjamin keterlibatan/ partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di setiap tingkatan berkaitan dengan isu konflik dan perdamaian.

Salah satu pembelajaran dari negara yang telah mengimplementasikan Resolusi PBB 1325, dan berdasarkan analisis konflik yang banyak terjadi di Indonesia, seringkali interpretasi yang bias berkaitan dengan agamamenjadi bibit konflik yang baru dan dalam kondisi seperti ini, perempuan menjadi korban. Oleh karena itu, perspektif lintas iman perlu menjadi salah satu aspek yang penting diperhatikan dalam rangka mengimplementasikan Resolusi PBB 1325 ini.

Konfrensi ini merumuskan sejumlah isu penting berkaitan dengan 3 aspek:

1. Perlindungan; minimnya upaya perlindungan bagi perempuan korban di wilayah konflik dan paska konflik, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual, perempuan pengungsi, korban diskriminasi dan marginalisasi berbasis identitas budaya, iman, dan etnis

2. Promosi; pentingnya upaya pemberdayaan perempuan sebagai agen perdamaian serta mendorong munculnya pemimpin perempuan di komunitasnya masing-masing

3. Partisipasi; mengupayakan keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik, serta upaya-upaya lain dalam rangka paska konflik (misalnya repatriasi dan reparasi).

Konferensi Asia selama dua hari ini telah merekomendasikan:

1. Negara-negara menyusun Nasional Action Plan untuk memastikan penerapan Resolusi PBB 1325 menjadi agenda, strategi, dan komitmen Negara, yang diimplementasikan dalam kebijakan konkret Negara

2. Negara-negara memastikan terjadinya reformasi birokrasi, secara khusus reformasi sektor keamanan untuk mendukung upaya pencegahan dan penyelesaian konflik dengan perspektif perempuan dan lintas iman

3. Negara-negara menjamin perlindungan hak-hak perempuan korban konflik, promosi dalam rangka pemberdayaan perempuan, dan partisipasi perempuan dalam setiap tingkatan proses pengambilan keputusan khususnya yang berhubungan dengan upaya-upaya membangun perdamaian

WUWUHAN MATAREMAKEUN PANCEN KA DUTA SAWALA TI WAWAKIL BARESAN OLOT TATAR SUNDA

“…NDAH NIHAN WARAHAKNA SANG SADU..”:

“ SAHA DAEK NANJEURKEUN SASANA KERTA PAKEUNEUN HEUBEUL HURIP NU KANGKEN BIJIL TI NIRMALA NING LEMAH, MA NGARANA INGET DI SANGHYANG SIKSA, MIKUKUH TALATAH AMBU BAPA, AKI LAWAN BUYUT. NYAHO DISIKSAAN MAHA PANDITA, MAGEUHEKUN UJAR ING KERTA. PAHI NYAHO DI SABDA PREBU, SANG RAMA, SANG RESI, BIAS MATITISKEUN BAYU, SABDA HEDAP. SAKITU MA DASAPASANTA, GEUS MA; GUNA, RAMA, HOOK, PESOK, ASIH, KARUNYA, MUPRERUK, NGULAS, NGECAP, NGLA ANGEN,. NYA MANA SUKA BUNGAH PADANG CAANG NU PIWARANG. YA TA SIANANGGUH PARIGEUING NGARANA.

INI PAKEUN URANG NGRETAKEUN BUMI LAMBA..
HAYWA PA ALA-ALA PALUNGGUHAN
HAYWA PAALA-ALA PAMEUNANG
HAYWA PAALA-ALA DEMAKAN
APANAN PADA PAWITANNYA, PADA MULIANYA.

TEGUHKEUN, PAGEUHKEUN SAHINGGA NING TUHU, PEPET BYAKTA WARTA MANAH.
MANA KRETA NA BUWANA, MANA HAYU IKANG JAGAT, KENA TWAH NING JANMA KAPAHAYU
MANA LEUMPANG DILEUMPANGKEUN..LEUNGEUN SAMBUNG DICOKOTKEUN..NA CEULI DIPAREUNGEUKEUN NA IRUNG DIPANGAMBEUKEUN..MANAH NYAREK DICAREKEUN LAMUN NYAJA NU NGUNDANG SAKITU.."

NYA IEU NU JADI CIRI…..KUJANGPAJAJARAN
MUGA SING KUKUH KANA JANGJI..
JANGJI PAKEUN NGAHUDANGWAYANGKEUN AJEN INAJEN ADAT NU SAPAJAJARAN
DINA BASA SAPRABU SABALE GANDRUNG SA SUNDA SAILIWANGI
PANCEG DI GALEUH PAKUAN…
PRAK GEURA NINDAK DIAPING KU BARIS OLOT SATATAR SUNDA !!

Rabu, 17 Maret 2010

SANGHIANG SIKSA KANDANG KARESIAN (KROPAK No.630)

Transkripsi naskah SSKK dilakukan oleh Atja, dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-16 Universitas Padjadjaran Bandung. Sekaligus merupakan hasil penelitian kembali naskah-naskah kuno dari Lembaga Kebudayaan Unibersitas padjadjaran.
Dalam kata pengantarnya dikatakan bahwa pemilihan maskah tersebut untuk menyambut Dies natalis ke-16 Unpad ialah karena kebetulan mempunyai hal-hal yang menarik baik isi maupun kesamaan angka 16-nya. hal-hal itu adalah :

(1). Siksa Kandang Karesian mempunyai isi semacam ensiklopedi tentang pemerintahan, kepercayaan, kebudayaan, kesusatraan, pertanian, etika, kemiliteran, dan lain-lain dari masyarakat Sunda.

(2). Siksa Kandang Karesian sebuah naskah Kuno yang mempunyai Candrasangkala yang berbunyi : nora catur sagara wulan, bila dibuat tahun Saka ialah 1440, sama dengan tahun 1518AD, atau awal abad ke-16

(3). Siksa Kandang Karesian penting ditranskripsi dan diterjemahkan untuk dijadikan salah satu sumber dalam penelitian, penulisan sejarah, kebudayaan, sastra, kesenian, kepercayaan dari masyarakat sunda awal abad ke-16.

(4) Belum pernah diterjemahkan dan betapa pentingnya naskah ini jelas dikemukakan oleh Drs. Amis Sutaarga dalam penelitian sementaranya yang berjudul Prabu Siliwangi, atau Ratu Pakuan Guru Dewata Prana sri Baduga Maha Raja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran 1471-1513, penerbit P.T. Duta Rakyat bandung, hal.55, yang berbunyi : "Amat disayangkan, bahwa naskah ini (yang dimaskud adalah Siksa Kandang Karesian) yang sampai sekarang (waktu itu tahun 1965) masih tersimpan dalam koleksi naskah-naskah Museum Pusat di Jakarta belum pernah dibuat transkripsi dan terjemahannya".

Isi naskah SSKKtidak merupakan suatu kisah atau cerita sebagaimana Carita Ratu Pakuan, melainkan berisi petunjuk dan bimbingan hidup dan kehidupan manusia di dunia agar mencapai kebahagiaan (mapahayu) dan keunggulan. dan yang memberikan petunjuk (warahakna) atau petuah adalah Sang Sadu, dan agar menjadi peringatan bagi semua orang. hal nampak dalam kalimat permulaanya berbunyi : " ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamaet hayu. Hana Sanghyang siksakanda (ng) Karesian ngaranya; kayat-nakna wong sakabeh".

Menurut Saleh Danasasmita bahwa SSKK ditulis pada masa Pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Sri baduga Maharaja adalah cucu dari Wastu Kancana, yang pernah tinggal di keraton Surawisesa di Kawali, sehingga dapat disimpulkan, ia mengetahui benar filsafat hidup jaman kakeknya. Menurut Saleh Danasasmita, bahwa dalam keropak 630 SSKK tersebut terdapat Nilai-nilai dan pandangan Hidup manusia Jawa Barat, yaitu :
1. Mahayu dora sapuluh
2. Mikukuh dasa prebakti
3. Pancaaksara guruning janma
4. Mikukuh darma pitutur
5. Ngawakan tapa di nagara
6. Tri Tangtu di nu reya
7. Hirup cukup teu kaleuleuwihi
8. Ulah pupujieun
9. Ulah bohong, ulah maling, jeung pamali

sesuai dengan amanat dalam prasasti Kawali yang dibuat oleh Wastu Kancana, bahwa secara ringkas kesejahteraan dan kejayaan negara harus melalui dua jalan UTAMA, yaitu :
MAGAWE RAHAYU dan MAGAWE KERTA.

kontibrutor(c)I_Indrawardana.

Minggu, 07 Februari 2010

Refleksi Hukum dan Implementasinya dalam Budaya Hukum di Indonesia

Tulisan ini berangkat dari suatu pengalaman, pengamatan dan buah pemikiran (setidaknya sebagai hasil perenungan) bahwa masih banyak kesimpangsiuran dan ketidakjelasan atau bahakan ketidakadilan dalam masalah hukum dan implemetasinya di negara Indonesia yang kita cintai. Ada pendapat menurut ahli hukum bahwa Indonesia menganut "hukum positif" yang didalamnya mengakui dan mengimplementasikan kombinasi antara " Hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis". Secara pandangan sederhana bahwa hukum tertulis yang dimaksud adalah seperangkat aturan yang dilegitimasi oleh suatu lembaga negara atau kemasyarakatan dan dibuat secara tertulis dengan atau berikut sangsi-sangsi yang jelas dan tertulis. Selanjutnya yang dimaksud hukum tidak tertulis adalah segala peraturan dan kehidupan masyarakat yang pada umumnya "memang" tidak tertulis, meski ada juga yang awalnya tidak tertulis kemudian menjadi tertulis (dituliskan). Hukum tidak tertulis yang dimaksud juga biasa juga disebut sebagai hukum adat (adat recht).
Berangkat dari dua konsep hukum dimaksud di atas (yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis) dalm implemetasinya sering terjadi tumpang tindih atau bahkan "konflik legalitas hukum" di masyarakat. Tidak sedikit terjadinya persengketaan antara misalnya hukum ulayat dengan hukum atau peraturan PERHUTANI. tidak sedikit juga terjadi konflik antara penyelesaian kasus adat yang kontra dengan penyelesaian hukum formal (tertulis), misal kasus konflik sampang-sampit. Bahkan tidak jarang juga masyarakat Indonesia terutama kaum "masyarakat sederhana" yang notabene "awam hukum formal" dibodohi dan dipecundangi oleh pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan "hukum atau peraturan tertulis", baik itu yang mengatasnamakan hukum negera atau hukum "agama (import/luar)". Kasus lainnya juga yang tidak kalah menarik perhatian khalayak adalah kasus pernikahan adat yang masih belum "disahkan" secara negara karena dianggap tdk sah secara hukum "agama luar" dan dianggap tidak tertulis serta tidak ada legitimasi para pemuka adatnya, maka juga dikategorikan pada maslaah konflik hukum yang masih kompleks saat ini. sebuta saja kasus pernikahan orang dayak, orang kejawen sedulur sikep, orang di pedalaman papua, orang sundawiwitan dan sebagainya masih belum mendapatkan akta pernikahan dilantarankan perkawinan itu tidak sesuai "hukum tertulis negera dan atau agama luar". sungguh ironis sekali. namun demikian hal ini tidak banyak para ahli hukum dan pejuang HAM melirik dan memeperjuangkan secara sungguh-sungguh kasus ini. Bahkan Direktorak Kepercayaan pun masih mengalami "kebingungan" untuk menyikapi masalah ini secara serius dan sungguh-sungguh (entah apa yang menjadi kendala mereka sehingga tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang penting untuk diperjuangkan). padahal sejatinya adalah "hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum yang sama di muka umum."
Hal yang sangat menggemparkan lagi manakala para pelanggar "hukum formal" adalah mereka yang notabene "sangat mengerti hukum formal" itu sendiri. misalnya para birokrat yang korupsi, para aparat penegak hukum yang menjadi mafia peradilan, dan kolusi dan sebagainya. Andaikan masyarakat "awam yang terbiasa" melakukan kehidupan dengan pedoman "hukum tidak tertulis" menjadi melanggar "hukum formal" karena ketidaktahuan, mungkin sangatlah wajar, tetapi sebaliknya aparat penegak hukum, kaum birokrat dan politisi yang mengerti hukum formal "secara terang-terangan" melakukan penyimpangan aturan hukum tertulis sangatlah tidak wajar, misalnya kasus Bank Century yang sedang hangat dibicarakan orang dan berbagai media massa. Naun yang sangat disayangkan pula ketika warga masyarakat adat yang jelas-jelas dalam tuntunan perilaku kehidupannya didasarkan dan berpedoman pada hukum tidak tertulis, sering "didakwa" atas nama ketidaksesuaian terhadap "hukum tertulis". ketidakjelasan dalam pemilahan masalah hukum di Indonesia dengan implemetasinya ini adalah masalah serius yang harus betul-betul disikapi oleh berbagai pihak, apalagi Indonesia sudah banyak meratifikasi hukum dan dan perundang-undangannya dengan hukum yang disepakati dan konvensi PBB (DUHAM dunia).
Sampai kapan hal ini akan dibiarkan? sampai kapan negara ini hidup dalam ketidakteraturan hukum dan ketidakadilan dalam implementasi hukum dengan berbagai polemiknya? paling tidak seharusnya pemerintah segera membenahi hukum dan peraturan-peraturan tertulis lainnya dengan menyesuaikan "budaya hukum" yang berkembang di masyarakat Indonesia yang multi budaya, multi etnis dan multi adat. Karena sejauh ini ada anggapan bahwa Hukum di Indonesia masih "kental" dengan nuansa "Hukum warisan kolonial Belanda". sepertinya adanya kesimpangsiuran dan lebih jauh banyaknya konflik masyarakat dalam masalah penyimpangan hukum, karena pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum beserta aparatnya tidak memahami budaya hukum yang berkembang di indonesia. Dalam hal inilah masalah HAM di Indonesia tentunya akan berbeda dengan maslah HAM di belahan dunia lainnya, artinya juga hukum dan peraturan untuk ketertiban masyarakat harus disesuaikan dengan budaya hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia agar terjadi keharmonisan dan keadilan dalam melihat dan menyelesaikan masalahnya.



kontributor(c)I_Indrawardana