Rabu, 03 September 2008

Bersila, Berpikir, Bertutur, dan Bersikap

bersila adalah sikap paling nyaman dalam mendengar dan menerima dawuhan..

Sabtu, 19 Juli 2008

UU ADMINDUK VS KAUM ADAT

UU Adminduk yang baru saja disahkan dalam tahun-tahun belakangan ini, mungkin pada dasarnya implisit akan melayani hak-hak sipil kaum penganut keyakinan non agama import, yaitu kaum penganut agama-agama adat, seperti sundawiwitan, kaharingan, pelebegu kaharingan, aluk tadolo dan agama-agama adat lainnya. Tapi kenyataannya masih bersifat diskriminatif bahkan menimbulkan polemik antara penganut keyakinan yang berdasar pada "organisasi formal yang memiliki AD/ART" atau lebih dikenal sebagai penghayat organisasi dengan penganut keyakinan adat yang berdasar pada lembaga adat yang jelas-jelas tidak memiliki AD/ART, dimana mereka suka dikategorikan sebagai penghayat perorangan. Polemik yang dilantarankan UU Adminduk yang diskriminatif ini, dipicu oleh beberapa tokoh penghayat organisasi yang dekat dengan kekuasaan dan mengamini kebijakan UU Adminduk yang dianggap lebih menguntungkan bagi pihak para penghayat organisasi. Padahal itu menunjukkan kebodohan mereka yang mau diperbudak dan terjebak oleh "trik" pemerintah dan kelompok elite politkus agama import yang sengaja untuk tidak memberi ruang yang bebas bagi kaum agama adat dan merkea kaum penghayat organisasi. para penghayat organisasi tidak sadar bahwa mereka adalah boneka-boneka yang diperalat untuk melanggengkan kekuasaan kaum agama import yang sewaktu-waktu dapat memberangus mereka. Atau lebih tepatnya membubarkan organisasi kepercayaan mereka yang ber-AD/ART itu, karena sewaktu-waktu bisa saja dianggap sebagai kelompok sesat dan sebagainya oleh kaum agama import. Dibandingkan dengan ketidakmampuan para elite politikus agama impor yang tidak bisa membubarkan keyakinan adat yang berdasar pada lembaga adat yang sudah ada jauh sebelum negera ini berdiri bahkan jauh sebelum agama-gama impor itu mewabah di wilayah Indonesia. tapi mungkin itulah sidrom kekuasaan, terutama bagi kaum penghayat organisasi yang dalam istilah sunda itu baru saja "bobok manggih gorowong" dan lupa akan sejarah perjuangan mereka yang sudah jauh lebih lama kaum adat dibandingkan mereka. Bukankah itu sikap nyalip di tengah jalan ? bahan lebih ironis lagi ketika kaum penghayat organisasi mengatakan atau lebih tepatnya menyuruh kepada kaum adat untuk membuat organisasi pengahayat seperti mereka, karena kaum agama adat dicap oleh kaum penghayat organisasi adalah kaum animisme dan bukan kategori penghjayat. Upaya saran para kaum penghayat organisasi kepada kaum agama adat seperti itu dengan alasan kalau kauim agama adat mau mengikuti atau dilayani hak-hak sipilnya berdasarkan UU Adminduk itu. Selain itu kaum penghayat organisasi juga berpendapat bahwa tatacara perkawinan mereka bukan berdasar pada adat tetapi berdasarkan pada tatacara organisasi mereka. Apakah itu bukan merupakan pemikiran yang bodoh ? sementara kalau mengacu pada UU Perkawinan th 1974 bahwa justru perkawinan yang dianggap sah adalah bilamana mengacu berdasar pada hukum agama masing-masing dan atau hukum adat (bukan tatacara organisasi penghayat).
Melihat kondisi polemik yang cukup tajam ini, maka sudah sepatutnya UU Adminduk direvisi atau kalau perlu diadakan judicial review ke mahkamah konstititusi. karena kembali UU tersebut lebih banyak mengedapankan kepentingan golongan bukan kepentingan bersama yaitu antara kaum penghayat organisasi dan kaum agama adat atau penghayat perorangan atau penghayat adat yamg jelas lebih berakar, lebih banyak dan merupakan akar budaya bangsa.

Pantas Pembangunan Nasional Gagal

Istilah membangun, kalau digunakan dalam secara harfiah dalam "membangun" rumah tentunya harus mempersiapkan segala sesuatunya. persiapan segala bahan baku, tenaga, modal, dan perenacanaan gambar atau disain rumah bagaimana yang akan dibangun. artinya membangun rumah kalau tidak mau gampang roboh atau berbetnuk yang menarik, nayman bagi yang menempati dan anggun bagiyang melihat adalah bukan pekerjaan gampang.
Membangun bangsa atau membangun masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan jelas tidak mudah juga. apalagi kalau dikaitkan dengan membangun bangsa Indonesia yang beranekaragam kebudayaan. Dunia mana pun atau bangsa mana pun tidak akan mudah membangun bangsanya apalagi dari sumber daya manusia danbudaya yang demiukian kompleks dan beragam. salah satu kunci yang mungkin bisa menjadi dasar kemudahan dalm membangun bangsa ini adalah sejauhmana atau bagaimana orientasi membangun bangsa ini yang sesungguhnya dan senyatanya mengedepankan pembangunan atau pengembangan yang berakar pada nilai kultural masyarakat adat sebagai akar-akar budaya bangsa. karena itu adalah awal pijakan dan roh dari semua kultur bangsa yang sudah berkembang sekarang. dan kalau itu betul-betul diperhatikan maka orientasi pembanguna bangsa ini jelas akan dibawa kepa pembangunan seperti apa. nyatanya, ironis, bangsa ini telah membangun dengan melepaskan bahkan memberangus tatananakar-akar budaya bangsanya sendiri. omong besar kalau bangsa ini telah berhasil memajukan kebudayaan bangsa bahkan telah berhasil membangun atau mengembangkan kebudayaan bangsa. nyatanya kebudayaan bangsa (baca: budaya seni) hanya sebatas komoditi jualan atau pariwisata, tetapi tidak menyentuh dan mengakar pada dasar kebutuhan masyarakat adat pengusung budaya tersebut. dimana secara ekonomi mereka, kaua adat masih merupakan masyarakat yang tergolong miskin dipandang dari sisi ekonomi. di bidang kesehatan merka belum betul-betul mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai karena para ahli medis atau ahli kesehatan masih banyak mengejar "usaha" di perkotaan yang dianggap lebih "basah" untuk lahan mencari uang. di bidang pendidikan, kaum adat tidak pernah diupayakan untuk mendapatkan pendidikan nasional yang layak, karena jelas mereka yang masih menganut keyakinan aaadat bagaimana pun tidak akan bisa lulus sekolaj selama tidak ada pendidikan keyakinannya dan hanya ada pendidikan kegamaan "import" yang dipaksakan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. artinya kaum adat dianggap animisme dan dinamisme dan harus belajar "agam-agam import" biar "mengenal Tuhan". apakah itu bukan berarti negara sudah melanggar HAM dalam bidang keyakinan, lantaran tidak adanya kurikulum pendidikan agama adat dalam kurikulum pendidikan. jadi saya pikir bukan masalah kaum adat tidak mau sekolah tetapi adalah kendala "software" kurikulum pendidikan nsaional juga harus dirombak agar bisa memberi ruang pendidikan terhadap kaum adat. dalm bidang pelayanan administrasi kenegaraan, kaum adat masih didiskriminasi karena mereka masih susah membuat KTP, akta kelahiran dan akta perkawinan. ini lagi-lagi dilantarankan mereka dalam kolom KTP dianggap tidak beragama, sehingga kolom agama mereka dikosongkan. sementara KTP bagi warga negara Indonesia merupakan "passward" untuk mengakses kebutuhan civiliztion lainnya. Artinya kalau masalah KTP dan akte perkawinan saja sulit, bagaimana membangun bangsa ke depan, sementara kebutuhan-kebutuhan mendasar sebagi hak-hak sivil bagi masyarakat kaum adat yang lebih besar masih terhambat, dan ini FAKTA !!!
Kesimpulannya, menurut saya, bahwa pembangunan nasional telah GAGAL, karena mengedepankan kepentingan golongan "agama impor", kaum urban atau perkotaan saja yang hanya 20-30 persen dariapada penduduk Indonesia yang 70-80 persen adalah kaum rural termasuk kaum adat. Sehingga wacana yang lebih tepat ke depan dalam membangun bangsa ini adalah bukan pembangunan nasional, tetapi mengedepankan pembangunan kultural dan kedaerahan sebagai soko dalam mewujudkan kesejehteraan bangsa Indonesia.

Kamis, 26 Juni 2008

Batik dan Citra Diri Bangsa

Batik adalah salah satu budaya atau hasil budi dan daya kreatifitas seni bangsa Indonesia. Batik sudah ratusan tahun bahkan ribuan tahun (jaman kerajaan-kerajaan nusantara) yang lalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai ragam dan corak motif batik Indonesia yang telah diciptakan bahkan tidak sedikit motif-motif batik yang sudah terkubur dan entah dimana dokumentasi karyanya. tapi seiring dengan kreatifitas dan perkembangan jaman, maka batik pun berkembang ragam dan coraknya. Ada batik motif pesisir, pegunungan, golongan bangsawan, golongan rakyat umum (cacah atau wong cilik), batik untuk pegawai negeri, bati untuk pegawai hotel, batik keraton batik berdasarkan kedaerahan (solo, pekalongan, garutan, tasik, yogya, paseban ciguguran, dan sebagainya). Sedemikian luasnya pemanfaatan batik dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan batik sudah menjadi identitas masyarakat Indonesia.
Identitas selalu terkait dengan aspek jati diri. Jati diri tidak selamanya nampak, bahkan cenderung memang tidak nampak, tetapi suatu identitas adalah penampakan suatu jati diri sehingga sekaligus menjadi pencitraan individu atau kelompok bersangkutan. Batik yang cenderung menjadi jati diri seseorang baik disadari ataupun tidak disadari. Jati diri adalah salah satu penanda kepribadian yang tidak nampak antar individu tetapi dipentingkan dalam hubungan berperilaku. Batik sejauh ini sudah berhasil menjadi penanda, identitas dan sekaligus jatidiri individu, kelompok dan komunitas tertentu yang membedakannya dari individu, kelompok dan komunitas lainnya. Sehingga, kalaulah kita menyepakati dan mengetahui bahwa bati adalah hasil budaya dan buah karya luhur bangsa Indonesia, berarti batik sudah jelas merupakan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia itu sendiri. Alangkah ironisnya ketika suatu saat pernah terjadi bahwa batik diklaim sebagai budaya atau hasil karya bangsa Malaysia. Ini artinya secara langsung atau tidak langsung telah terjadi pemberangusan dan penjajahan identitas bangsa. Ini artinya telah terjadi perampasan jatidiri bangsa Indonesia oleh bangsa lain. Kejadian itu bahkan tidak hanya terjadi terhadap batik saja bahkan pada beberapa hasil budaya bangsa Indonesia lainnya. Dampaknya adalah bahwa citra bangsa kita yang berkesan kurang peduli akan kekayaan budaya bangsa sendiri.
Dengan demikian sejauhmana masyrakat kita mengenal, memahami dan memakai semua hasil budaya dan karya luhur bangsa Indonesia yang beragam ini adalah menujukkan sejauhmana kita menjaga jatidiri dan harga diri kita sendiri sebagai suatu bangsa bermartabat. Kecuali kalau memang kita tidak pernah merasa, atau tidak tahu, atau memang sengaja "menggadaikan" jatidiri diri kita dan bangsa kita dengan "keglamoran" budaya lain yang dianggap lebih "wah". Kecuali hanya orang-orang yang memang tidak mencintai bangsanya sendirilah yang sengaja tidak mau menggunakan hasil-hasil budaya bangsa sendiri dengan alasan "kampungan", "kuno", tidak modis, tidak trendi, tidak modern, tidak modis dan sebagainya. Tidaklah berlebih kiranya bila kita terus-menerus mengembangkan budaya sendiri untuk kemudian dimanfaatkan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kebanggaan diri, sebagai identitas diri dan pencitraan diri untuk mandiri bersaing dengan budaya bangsa lain. Batik hanya salah satu dari sekian penanda identitas bangsa. Batik hanyalah salah satu dari penanda jati diri bangsa. Batik mungkin tidak lebih penting dari penanda identitas lain yang lebih pantas untuk dijadikan jati diri bangsa. Tapi sejarah telah membuktikan bahwa tatanan masyarakat Indonesia, terutama bagi komunitas yang masih kukuh mengenakan batik dalam sistem dan siklus kehidupannya adalah mereka yang justru merupakan tonggak "jati diri" bangsa, dan harga diri bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Dalam berbagai bentuk penerapannya, seiring dengan kebutuhan masyarakat, sesungguhnya batik dapat dilekatkan tidak hanya pada pakain semata, tetapi juga bisa sebagai ikat kepala, celana, tas, sarung bantal, seprai, sandal, gordeng, topi, map buku, dan sebagainya. Bentuk pelekatan motif batik itu tentunya menunggu "tangan-tangan kreatif" dan "ide-ide inovatif" siapapun untuk dikembangkan lebih jauh kini dan di masa datang. Dengan demikian penegasan bahwa Batik menjadi jati diri dan identitas bangsa Indonesia akan benar-benar "disegani" dan tidak akan semena-mena "diperjualbelikan" bahkan diklaim sebagai budaya bangsa lain. Relakah Harga diri dan jati diri kita "diperjualbelikan" oleh bangsa lain ?

Rabu, 07 Mei 2008

Aku Ada dalam Ada dan Ketiadaan

Aku bukan sipa-siapa
dan....
siapa-siapa bukanlah Aku

Aku adalah Dia..
yang ada dalam cermin..

Tapi bayanganku di cermin..
bukanlah Aku yang sesungguhnya..

Aku ada karena Aku merasa ada..
dan..
Aku ada karena ada yang merasakan...
kehadiranku...

Aku tidak ada..
karena tidak ada yang merasakan..
kehadiranku..

Meski Aku akan tiada...
semoga Aku selalu ada..
menjadi bayangan..
bagi yang ada...
dan..
merasa Aku selalu ada..

Rabu, 26 Maret 2008

Panca Indera Pintu Kehidupan



Mata ini adalah pintu
Dan hati ini adalah Tuan rumah
Dan perasaan adalah sejumlah keluarga
yang bermacam karakter

Telinga ini adalah pintu
yang setiap saat bisa terbuka dan tertutup
menerima dan mendengar setiap kisah hidup
dan sekaligus menutup
untuk setiap lembaran cerita hidup masa lalu

Mulut ini adalah pintu
Siapa yang yang mengunci dan terkunci
tidak akan pernah kita atau dia tahu

Hidung ini adalah pintu
Untuk membuka dan membuang gelisah dan desah
terbuka dan tertutup atas semua galau
yang nampak dan terasa

Kulit ini adalah pintu
Siapapun bisa teraba dan masuk
dan berjiwa di dalamnya
tapi kemudian akan mati dan tertutup
dalam sejatinya jiwa dan raga

Panca indera ini adalah pintu
yang akan menampakan dunia dengan segala sandiwaranya
dan akan usai saat sang pintu waktu tertutup

Apalah artinya tatapan kalau rasa itu selalu tertutup
Apalah artinya bicara kalau asa itu tak pernah terbuka
Apalah artinya mendengar kalau hati itu tidak pernah terbuka
Apalah artinya mencium kalau wangi kasih tersumbat
Apalah artinya membelai kalau ragamu tak pernah berbuat

Janganlah ingkari suara hati dan pikiranmu
Jangan kau kunci raga dan jiwamu
Janganlah menjadi mereka yang "menatap untuk menutup"

I.I. - Cibiru,Maret '08

Senin, 03 Maret 2008

Memahami Sunda Wiwitan-1

Sunda Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan masyarakat asli Sunda. meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul (Ciptagelar) dan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah beberapa komunitas yang masih memegang teguh ajaran-ajaran Sunda Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini, biasanya dalam kolom agama dalam KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau "impor" atau luar negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb). biasanya kolom agama mereka kosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja. Jadi jangan terkecoh oleh mereka atau siapapu yang mengaku Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama dalam KTPnya masih ada ketikan nama agama "luar" (bisa jadi mereka hanya pengakuan saja).
Selanjutnya, kondisi keyakinan Sunda Wiwitan dengan ciri administratif pada KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku "agama-agama adat" nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo dsb. Kondisi seperti ini karena negara masih "pilih kasih" dalam perlakuan administratif kenegaraan. padahal sebelum adanya agama-agama "luar", agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak menyandang "gelar" atau titel "agama" karena konsep agama hanya berlaku bagi "agama-agama luar". Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai kepercayaan atau aliran kepercayaan, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai aliran sesat oleh kaum agamawan.
Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang "bukan agama misi". bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini hanya khusus bagi mereka yang jelas keturunannya secara genealogis Sunda.
Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan tidak diperuntukan bagi mereka selain jelas ada keturunan "darah Sunda". hal ini mengingat dalam ajaran Sunda Wiwitan memahami bahwa setiap umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersukubangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan kepikiran untuk mengajak orang lain menganut agama seperti mereka, karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut.
sebagai agama leluhur, sesungguhnya agama Sunda wiwitan sama saja dengan agama-agama "luar" juga yang merupakan agama leluhur, karena setiap agama di dunia ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka dari itu dalam agama Sunda Wiwitan sangat menekankan untuk selalu menghormat dan mendoakan leluhurnya sebagai cikal bakal adanya generasi Sunda Wiwitan masa sekarang dan ke depan. Selain itu agama Sunda Wiwitan menekankan untuk menjaga ligkungan alam beserta isinya, tidak sembarangan dalam memanfaatkan kekayaan alam baik flora, fauna dan barang-barang fosil. Karena merusak alam adalah juga merusak ajaran Sunda Wiwitan atau melanggar pada ajaran. (jadi jelas kerusakan alam akhir-akhir ini bukan disebabkan oleh orag-orang penganut Sunda Wiwitan). Tentunya siapa yang menebar angin, maka dialah yang akan menuai badai.