Sabtu, 19 Juli 2008

Pantas Pembangunan Nasional Gagal

Istilah membangun, kalau digunakan dalam secara harfiah dalam "membangun" rumah tentunya harus mempersiapkan segala sesuatunya. persiapan segala bahan baku, tenaga, modal, dan perenacanaan gambar atau disain rumah bagaimana yang akan dibangun. artinya membangun rumah kalau tidak mau gampang roboh atau berbetnuk yang menarik, nayman bagi yang menempati dan anggun bagiyang melihat adalah bukan pekerjaan gampang.
Membangun bangsa atau membangun masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan jelas tidak mudah juga. apalagi kalau dikaitkan dengan membangun bangsa Indonesia yang beranekaragam kebudayaan. Dunia mana pun atau bangsa mana pun tidak akan mudah membangun bangsanya apalagi dari sumber daya manusia danbudaya yang demiukian kompleks dan beragam. salah satu kunci yang mungkin bisa menjadi dasar kemudahan dalm membangun bangsa ini adalah sejauhmana atau bagaimana orientasi membangun bangsa ini yang sesungguhnya dan senyatanya mengedepankan pembangunan atau pengembangan yang berakar pada nilai kultural masyarakat adat sebagai akar-akar budaya bangsa. karena itu adalah awal pijakan dan roh dari semua kultur bangsa yang sudah berkembang sekarang. dan kalau itu betul-betul diperhatikan maka orientasi pembanguna bangsa ini jelas akan dibawa kepa pembangunan seperti apa. nyatanya, ironis, bangsa ini telah membangun dengan melepaskan bahkan memberangus tatananakar-akar budaya bangsanya sendiri. omong besar kalau bangsa ini telah berhasil memajukan kebudayaan bangsa bahkan telah berhasil membangun atau mengembangkan kebudayaan bangsa. nyatanya kebudayaan bangsa (baca: budaya seni) hanya sebatas komoditi jualan atau pariwisata, tetapi tidak menyentuh dan mengakar pada dasar kebutuhan masyarakat adat pengusung budaya tersebut. dimana secara ekonomi mereka, kaua adat masih merupakan masyarakat yang tergolong miskin dipandang dari sisi ekonomi. di bidang kesehatan merka belum betul-betul mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai karena para ahli medis atau ahli kesehatan masih banyak mengejar "usaha" di perkotaan yang dianggap lebih "basah" untuk lahan mencari uang. di bidang pendidikan, kaum adat tidak pernah diupayakan untuk mendapatkan pendidikan nasional yang layak, karena jelas mereka yang masih menganut keyakinan aaadat bagaimana pun tidak akan bisa lulus sekolaj selama tidak ada pendidikan keyakinannya dan hanya ada pendidikan kegamaan "import" yang dipaksakan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. artinya kaum adat dianggap animisme dan dinamisme dan harus belajar "agam-agam import" biar "mengenal Tuhan". apakah itu bukan berarti negara sudah melanggar HAM dalam bidang keyakinan, lantaran tidak adanya kurikulum pendidikan agama adat dalam kurikulum pendidikan. jadi saya pikir bukan masalah kaum adat tidak mau sekolah tetapi adalah kendala "software" kurikulum pendidikan nsaional juga harus dirombak agar bisa memberi ruang pendidikan terhadap kaum adat. dalm bidang pelayanan administrasi kenegaraan, kaum adat masih didiskriminasi karena mereka masih susah membuat KTP, akta kelahiran dan akta perkawinan. ini lagi-lagi dilantarankan mereka dalam kolom KTP dianggap tidak beragama, sehingga kolom agama mereka dikosongkan. sementara KTP bagi warga negara Indonesia merupakan "passward" untuk mengakses kebutuhan civiliztion lainnya. Artinya kalau masalah KTP dan akte perkawinan saja sulit, bagaimana membangun bangsa ke depan, sementara kebutuhan-kebutuhan mendasar sebagi hak-hak sivil bagi masyarakat kaum adat yang lebih besar masih terhambat, dan ini FAKTA !!!
Kesimpulannya, menurut saya, bahwa pembangunan nasional telah GAGAL, karena mengedepankan kepentingan golongan "agama impor", kaum urban atau perkotaan saja yang hanya 20-30 persen dariapada penduduk Indonesia yang 70-80 persen adalah kaum rural termasuk kaum adat. Sehingga wacana yang lebih tepat ke depan dalam membangun bangsa ini adalah bukan pembangunan nasional, tetapi mengedepankan pembangunan kultural dan kedaerahan sebagai soko dalam mewujudkan kesejehteraan bangsa Indonesia.

1 komentar:

kang bruno mengatakan...

Diskriminasi terhadap penganut kepercayaan di luar agama resmi adalah salah satu bentuk kekhawatiran, ketakutan dan pencegahan. Tetapi jangan mengeluh, Pengakuan itu perlu Perjuangan. Berjuanglah tanpa mengenal lelah dengan segala daya upaya.
Undang-undang dan Peraturan adalah wilayah politik. Mau gak mau perjuangan harus masuk ke wilayah politik. Argumentasi, konsolidasi, negosiasi, rayuan, kekuatan & tekanan.