Sabtu, 19 Juli 2008

UU ADMINDUK VS KAUM ADAT

UU Adminduk yang baru saja disahkan dalam tahun-tahun belakangan ini, mungkin pada dasarnya implisit akan melayani hak-hak sipil kaum penganut keyakinan non agama import, yaitu kaum penganut agama-agama adat, seperti sundawiwitan, kaharingan, pelebegu kaharingan, aluk tadolo dan agama-agama adat lainnya. Tapi kenyataannya masih bersifat diskriminatif bahkan menimbulkan polemik antara penganut keyakinan yang berdasar pada "organisasi formal yang memiliki AD/ART" atau lebih dikenal sebagai penghayat organisasi dengan penganut keyakinan adat yang berdasar pada lembaga adat yang jelas-jelas tidak memiliki AD/ART, dimana mereka suka dikategorikan sebagai penghayat perorangan. Polemik yang dilantarankan UU Adminduk yang diskriminatif ini, dipicu oleh beberapa tokoh penghayat organisasi yang dekat dengan kekuasaan dan mengamini kebijakan UU Adminduk yang dianggap lebih menguntungkan bagi pihak para penghayat organisasi. Padahal itu menunjukkan kebodohan mereka yang mau diperbudak dan terjebak oleh "trik" pemerintah dan kelompok elite politkus agama import yang sengaja untuk tidak memberi ruang yang bebas bagi kaum agama adat dan merkea kaum penghayat organisasi. para penghayat organisasi tidak sadar bahwa mereka adalah boneka-boneka yang diperalat untuk melanggengkan kekuasaan kaum agama import yang sewaktu-waktu dapat memberangus mereka. Atau lebih tepatnya membubarkan organisasi kepercayaan mereka yang ber-AD/ART itu, karena sewaktu-waktu bisa saja dianggap sebagai kelompok sesat dan sebagainya oleh kaum agama import. Dibandingkan dengan ketidakmampuan para elite politikus agama impor yang tidak bisa membubarkan keyakinan adat yang berdasar pada lembaga adat yang sudah ada jauh sebelum negera ini berdiri bahkan jauh sebelum agama-gama impor itu mewabah di wilayah Indonesia. tapi mungkin itulah sidrom kekuasaan, terutama bagi kaum penghayat organisasi yang dalam istilah sunda itu baru saja "bobok manggih gorowong" dan lupa akan sejarah perjuangan mereka yang sudah jauh lebih lama kaum adat dibandingkan mereka. Bukankah itu sikap nyalip di tengah jalan ? bahan lebih ironis lagi ketika kaum penghayat organisasi mengatakan atau lebih tepatnya menyuruh kepada kaum adat untuk membuat organisasi pengahayat seperti mereka, karena kaum agama adat dicap oleh kaum penghayat organisasi adalah kaum animisme dan bukan kategori penghjayat. Upaya saran para kaum penghayat organisasi kepada kaum agama adat seperti itu dengan alasan kalau kauim agama adat mau mengikuti atau dilayani hak-hak sipilnya berdasarkan UU Adminduk itu. Selain itu kaum penghayat organisasi juga berpendapat bahwa tatacara perkawinan mereka bukan berdasar pada adat tetapi berdasarkan pada tatacara organisasi mereka. Apakah itu bukan merupakan pemikiran yang bodoh ? sementara kalau mengacu pada UU Perkawinan th 1974 bahwa justru perkawinan yang dianggap sah adalah bilamana mengacu berdasar pada hukum agama masing-masing dan atau hukum adat (bukan tatacara organisasi penghayat).
Melihat kondisi polemik yang cukup tajam ini, maka sudah sepatutnya UU Adminduk direvisi atau kalau perlu diadakan judicial review ke mahkamah konstititusi. karena kembali UU tersebut lebih banyak mengedapankan kepentingan golongan bukan kepentingan bersama yaitu antara kaum penghayat organisasi dan kaum agama adat atau penghayat perorangan atau penghayat adat yamg jelas lebih berakar, lebih banyak dan merupakan akar budaya bangsa.

Pantas Pembangunan Nasional Gagal

Istilah membangun, kalau digunakan dalam secara harfiah dalam "membangun" rumah tentunya harus mempersiapkan segala sesuatunya. persiapan segala bahan baku, tenaga, modal, dan perenacanaan gambar atau disain rumah bagaimana yang akan dibangun. artinya membangun rumah kalau tidak mau gampang roboh atau berbetnuk yang menarik, nayman bagi yang menempati dan anggun bagiyang melihat adalah bukan pekerjaan gampang.
Membangun bangsa atau membangun masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan jelas tidak mudah juga. apalagi kalau dikaitkan dengan membangun bangsa Indonesia yang beranekaragam kebudayaan. Dunia mana pun atau bangsa mana pun tidak akan mudah membangun bangsanya apalagi dari sumber daya manusia danbudaya yang demiukian kompleks dan beragam. salah satu kunci yang mungkin bisa menjadi dasar kemudahan dalm membangun bangsa ini adalah sejauhmana atau bagaimana orientasi membangun bangsa ini yang sesungguhnya dan senyatanya mengedepankan pembangunan atau pengembangan yang berakar pada nilai kultural masyarakat adat sebagai akar-akar budaya bangsa. karena itu adalah awal pijakan dan roh dari semua kultur bangsa yang sudah berkembang sekarang. dan kalau itu betul-betul diperhatikan maka orientasi pembanguna bangsa ini jelas akan dibawa kepa pembangunan seperti apa. nyatanya, ironis, bangsa ini telah membangun dengan melepaskan bahkan memberangus tatananakar-akar budaya bangsanya sendiri. omong besar kalau bangsa ini telah berhasil memajukan kebudayaan bangsa bahkan telah berhasil membangun atau mengembangkan kebudayaan bangsa. nyatanya kebudayaan bangsa (baca: budaya seni) hanya sebatas komoditi jualan atau pariwisata, tetapi tidak menyentuh dan mengakar pada dasar kebutuhan masyarakat adat pengusung budaya tersebut. dimana secara ekonomi mereka, kaua adat masih merupakan masyarakat yang tergolong miskin dipandang dari sisi ekonomi. di bidang kesehatan merka belum betul-betul mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai karena para ahli medis atau ahli kesehatan masih banyak mengejar "usaha" di perkotaan yang dianggap lebih "basah" untuk lahan mencari uang. di bidang pendidikan, kaum adat tidak pernah diupayakan untuk mendapatkan pendidikan nasional yang layak, karena jelas mereka yang masih menganut keyakinan aaadat bagaimana pun tidak akan bisa lulus sekolaj selama tidak ada pendidikan keyakinannya dan hanya ada pendidikan kegamaan "import" yang dipaksakan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. artinya kaum adat dianggap animisme dan dinamisme dan harus belajar "agam-agam import" biar "mengenal Tuhan". apakah itu bukan berarti negara sudah melanggar HAM dalam bidang keyakinan, lantaran tidak adanya kurikulum pendidikan agama adat dalam kurikulum pendidikan. jadi saya pikir bukan masalah kaum adat tidak mau sekolah tetapi adalah kendala "software" kurikulum pendidikan nsaional juga harus dirombak agar bisa memberi ruang pendidikan terhadap kaum adat. dalm bidang pelayanan administrasi kenegaraan, kaum adat masih didiskriminasi karena mereka masih susah membuat KTP, akta kelahiran dan akta perkawinan. ini lagi-lagi dilantarankan mereka dalam kolom KTP dianggap tidak beragama, sehingga kolom agama mereka dikosongkan. sementara KTP bagi warga negara Indonesia merupakan "passward" untuk mengakses kebutuhan civiliztion lainnya. Artinya kalau masalah KTP dan akte perkawinan saja sulit, bagaimana membangun bangsa ke depan, sementara kebutuhan-kebutuhan mendasar sebagi hak-hak sivil bagi masyarakat kaum adat yang lebih besar masih terhambat, dan ini FAKTA !!!
Kesimpulannya, menurut saya, bahwa pembangunan nasional telah GAGAL, karena mengedepankan kepentingan golongan "agama impor", kaum urban atau perkotaan saja yang hanya 20-30 persen dariapada penduduk Indonesia yang 70-80 persen adalah kaum rural termasuk kaum adat. Sehingga wacana yang lebih tepat ke depan dalam membangun bangsa ini adalah bukan pembangunan nasional, tetapi mengedepankan pembangunan kultural dan kedaerahan sebagai soko dalam mewujudkan kesejehteraan bangsa Indonesia.