Kamis, 19 Juli 2007

Tidak Sekedar Tiga (TST)


Banyak simbol yang berdasar pada jumlah, angka atau ukuran tiga. Cipta-Rasa-Karsa. Sir-Rasa-Pikir.Buana Atas-Tengah-Bawah. Allah Bapa-Putra-Roh Kudus. Cinta-Perjuangan-Pengabdian. Pesta-Buku-Cinta. Adat-Sara-Kitabulloh. Rama-Resi-Ratu. Brahma-Wisnu-Siwa. Sex-Sun-Sand dan sebagainya. Nasi Tumpeng, Gugunungan Wayang, Rumah Adat, Kemah atau Camp masyarakat bangsa Indian dan sebagainya membentuk sudut segitiga. Tri Tangtu di Buana, Tri Tangtu dina Raga, Tri Tunggal Maha Kudus, Dalihan Na Tolu, Tigo Tungku Sajarangan, Tri Daya Eka Karsa, Tri Pitaka, Tri Murti, The Third Countries, Tri Sila, dan sebagainya.
Ada ada apa dengan angka tiga (3) ? Mengapa tiga (3) ? meski sekedar angka ganjil, tetapi angka tiga ini sepertinya dmaknai oleh setiap orang, setiap budaya dan setiap jaman. Entah disadari atau tidak saat pemaknaan angka atau ukuran tiga ini, namun hanya orang yang berfilosofi dan berpikir dalam yang mampu membuat angka dan ukuran tiga menjadi bermakna konotatif atau filosofis. Siapa saja mereka yang menjadi pencetus makna-makna mutiara di balik angka dan ukuran-ukuran tiga di bentara budaya dan ajaran di dunia ini ? Pernahkah kita mencoba berpikir mendalam mengungkap makna di balik sesuatu yang tangible, kongkrit, dan jelas. Bahkan kalau kita coba simak satu persatu dari sekian angka dan ukuran, hampir memiliki makna konotasi tidak sebatas angka nominal yang real dan pragmatis. Sejauh mana perbedaan masa lalu dan sekarang bisa ditandai dengan seberapa banyak jurang perbedaan sikap yang pragmatis dan filosofis. Sejauh mana berpikir mendalam tidak sekedar romantis. Sejauhmana berpikir idealis bergulat dengan kemampuan berpikir realistis ekonomis. Sejauh mana keberanian berpikir kritis konstruktif berhadapan dengan pola pemikiran yang egois dan cauvinis. Sejauh mana kemampuan berkomunikasi tingkat tinggi dengan komunikasi tingkat rendah dalam budaya pergaulan. Sejauhmana kemampuan kita memaknai kehidupan secara arif dibandingkan dengan ketidakmampuan kita dalam memberi makna dalam kehidupan itu sendiri. Seolah kemodernan adalah kecangihan belaka. dan kecanggihan itu sendiri parahnya hanya diukur dalam bentuk teknologi bukan dalam pola pikir yang arif dan sikap yang beradab dan bersahaja. kadang kebersahajaan dianggap sebagai keterbelakangan. merka yang terbelakang (katanya) adalah mereka yang hidup nun jauh di hutan dan pegunungan sana (up landersi) yang selalu menjaga hutan dan menjadikan hutan rindang dan berbuah. yang terbelaknag itu adalah mereka yang selalu berfilosofi dan berkonotasi dalam setiap tutur kata dan perilakunya. Mereka menggali dan mempertahankan budaya sebagai identitas dan jati dirinya menantang peradaban modern. Sementara atas nama kecanggihan (teknologi) yang realistis dan pragmatis terus menggerus tanah, menebas hutan belantara, menggali sumber daya alam dan mengubur adat dalam-dalam dan memberinya nisan "BUDAYA POP".

Tidak ada komentar: