Jumat, 20 Juli 2007

Refleksi Kampus Idaman Pasca Kunjungan ke NUS

Oleh-oleh buah pengalaman / refleksi sewaktu kujungan pengelana buana budaya ke NUS (National University of Singapura) :
"Universitas adalah kebanggaan bagi setiap mahasiswanya juga para almamater lainnya. Suatu kebangaan terhadap Universitas tentunya tidak semata-mata karena indahnya atau artistiknya arsitektur bangunan kampus, bagusnya tataletak bangunan kampus mulai dari taman kampus, stadium centre, cafe kampus, sarana dan prasarana seperti laboratorium, perpustakaan dan sebagainya. ada yang lebih penting lagi sepertinya yaitu iklim atau suasana pendidikan atau mungkin semacam budaya kampus yang betul-betul edukatif, inovatif,progresif, dan kondusif. Sebuah kampus yang bagus memang tidak sekedar nyaman, meski kenyaman adalah faktor penting dalam suasana kampus. Sebuah kampus yang progresif memiliki kurikulum yang canggih dengan mengindahkan pemikiran yang inovatif dan progresif dan terbuka terhadap dunia luar dan perkembangan jaman. Iklim budaya kampus yang kondusif antar sesama mahasiswa, dosen, pejabat kampus dan staf akademika lainnya penting dibuat suasana pergaulan yang harmonis dan penuh kekeluargaan. Etika antar berbagai komponen kampus terus terjaga tanpa menimbulkan gap atau jurang keakraban diantara mereka. Pentingnya menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pada masing-masing peran komponen kampus adalah tanggungjawab bersama. Misal tidak ada salahnya dosen makan bareng di cafe kampus bersama dengan mahasiswa-mahasiswanya. Ngobrol atau jalan-jalan bareng di taman kampus sambil bersenda gurau sesama dosen dan mahasiswa dan birokrat kampus dan sebagainya. Para dosen tidak perlu "sok dosen" ketika berhadapan dengan mahasiswa di luar kelas, sebaliknya mahasiswa juga jangan "sok akrab" sehingga "out of control" dalam bersikap atau "tidak sopan" meski para dosen memberikan keleluasaan dalam pergaulan mereka. Intinya bagaimana iklim kampus dibuat senyaman mungkin sebagai kesatuan ruang infrastruktur dan sistem pendidikan, antara arsitektur, tata letak kampus, kurikulum, sarana prasarana, kebijakan yang transparan dan humanistis dengan tetap menumbuhkan "esprit the corps " kampus tercintanya..Siapa yang tidak bangga menjadi almamater dari kampus idaman itu..some day on the future..I hope always..BRAVO ANTROPOLOGI UNPAD !!!

2 komentar:

Oki ' T mengatakan...

Bener Ira, da susah atu di Indoeseia mah, selama masih ada budaya "sungkan" sama senior mah. Saya sendiri yang sudah pernah lihat Universitas luar negeri dan mendengar dari para kolega yang pernah keluar negeri ya memang budaya sana saling menghargai dan menghormati. Tidak ada namanya senior junior. Semua dilihat dari kapabilitas dan kompetensinya. Tapi Ira padahal rata2 dosen di Unpad misalnya adalah s2 atau s3 nya di luar negeri, tapi mengapa mereka tidak bisa membawa budaya akademik dari sana ke sini ???? . Mudah-mudahan dengan Kang Ganjar perubahan akan banyak terjadi di Unpad.. Bravo Unpad dan Antropologi !

Pengelana Buana Budaya mengatakan...

Kang Oki, keheranan saya juga sama seperti kang Oki, banyak dosen lulusan luar negeri tapi belum bisa membudaykan hal yang positif dalm kultur pendidikan kita. sepertinya harus ada riset khusus nih..tapi bukan berarti saya sok luar negeri, meski baru sekali saya ke NUS saya merasakan iklim pendidikan yang beradab, bagaimana antara dosen dengan mahasiswa akrab, bagaimana dosen itu betul-betul "mendidik" atau perhatian pada kualitas pendidikan mahasiswanya, bukan sebatas pengajaran atau transfer ilmu saja. Atau saya juga pernah mendengar bagaimana profesor luar negeri itu betul-betul familiar terhadap mahasiswanya, sampai mau berdiskusi tentang hal-hal pribadi di luarkonteks kemahaiswaan, karena bagaimana pun faktor (X) di luar konteks perkuliahan jugamempengaruhi terhadap konsentrasi pembelajaran di kampus.
Saya jujur aja, tesis S2 agak terhambat karena konsentrasi saya buyar karena perilaku profesor pembimbinga saya yang sempet melecehkan saya di depan kelas, dihadapn mahasiswa, dia pernah bilang saya belum pantas mengajar karena belum 100 persen jadi dosen, padahal waktu itu saya udah prajab, udah dapet SK PNS penuh dan sudah lam ngajar. Tau sendiri kan saya dulu asisten Prof. K waktu di INRIK. setidaknya saya merasa intelektualitas tidak sejajar dengan EQ dan SQ seseorang. nah dalam dunia pendidikan kiat, mungkin termasuk di Unpad, saya melihat EQ kurang dikembangkan dengan baik. pengajaran kurang memperhatikan hakikat pendidikan itu sendiri. adanya rezim-rezim dosen, seolah dianggap biasa dan menjadi budaya politik kampus. terus apa bedanya dunia kampus denga lembaga legislatif dengan partai-partainya yang saling berseteru. saya melihat juga kiprah dosen unpad kurang kompetitif dalm gaung nasional, padahal banyak dosen yang potensial dan mampu meberikan kontribusi yang besar dalam maslah kebangsaan RI saat ini. ambil contoh Prof. Panca Astawa dan entah siapa lagi. terlalu banyak kecemburuan dintara kita sendiri, sehingga kompetitisi untuk mengembangkan kapabilitas dan kapasita dosen kurang sehat. say berpendapat demikian, justru karena saya sangat berharap bahwa masa depan Indonesia tergantung dari keseriusan dunia pendidikan mencetak para kader bangsa yang progresif dan berjiwa nasionalis. progresif yaitu dengan mengikutiatau merespon perkembangan dunia pendidikan, sains dan teknologi luar, berjiwa nasional adalah memperhatikan dan betul-betul bertanggungjawab terhadap pengembangan potensi para dosen, mahasiswa dan civitas akademika pada masing-masing kampusnya. jadi bukan "menumpuk kepintaran sendiri" apalagi menumpuk kekayaan sendiri.. wah parah kalau begini, mudah-mudahan tidak separah itu..bangkitlah duniapendidikan Indonesia !!