Kamis, 19 Juli 2007

Dasa Muka Dasa Cerita


Siapa yang tidak mengenal Dasa Muka dalam kisah pewayangan Ramayana ? Siapa yang tidak benci Dasa Muka dibandingkan terhadap Sri Rama ? Dasa Muka adalah bergelar Prabu dan memiliki nama keren lainnya adalah Rahwana. Jadi meski Dasa Muka banyak dibenci penggemar dunia pewayangan tapi dia adalah Prabu bahkan rohnya dari alam buana ini (rah = roh, wana = hutan = alam = buana).
Secara realita, bilamana kita bercermin maka kita akan melihat satu wajah kita yang berarti satu muka kita. Coba perhatikan dengan seksama muka kita pada cermin di hadapan kita. Pandang, tatap sedalm-dalamnya muka kita. bagaimana raut muka yang nampak ? bagaimana ekspresi wajah kita saat kita menatap ke dalam rongga mata di depan cermin kita ? Atau bayangkan ekspresi muka kita selama satu hari ini. Ada berpa "topeng" muka kita yang menempel dalam lakon sandiwara kehidupan kita ini. dimana dari setiap "topeng" ekspresi muka itu kita berganti-ganti lakon dan itu pun berbeda antara front stage and back stage. Apakah kita menyenangi "topeng-topeng muka kita itu ? Ataukah sebaliknya kita justru membencinya hanya saja tak kuasa mengungkapkannya ? Apakah kita menyadari perubahan muka kita dalam setiap cerita kehidupan ini. bahkan mungkin tidak hanya se-Dasa Muka yang kita miliki tapi "Seribu Muka" yang kita miliki.
Mengapa Seribu Muka itu ada meski kita tidak minta dan tidak berharap sebelumnya ? Itu adalah "muka atau wajah" dari roh-roh kehidupan dari alam ini yang menyatu dan bersama-sama ingin hidup dalam raga yang berwujud manusia. Inilah tugas "Muka Manusia" atau Muka Sri Rama yang sesungguhnya juga telah menyatu dalam diri kita. Hanya saja kita lebih sering munafik dengan selalu berganti "muka" lebih dari Dasa Muka. Sepantasnya kita menjadi Prabu atas Dasa Muka dalam diri kita sendiri. Bukan menjadi penguasa yang muka Dasa atau bahkan lebih. Tapi kita sebagai manusia harus menjadi Manusia yang mampu menjadi "pemimpin" dari muka roh-roh alam yang menyatu dalam wujud kita. Kita harus menjadi Imam bagi mereka dan menyempurnakannya dalam perilaku. Sebab manusia adalah "Wadah Panglokatan" atau penyempurna dari roh-roh hurip tanah pakumpulan baik hewani maupun nabati.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Yang paling menarik dari penggalan kisah Ramayana menurutku adalah kisah memperjuangkan kebenaran dalam sebuah negara yang penuh angkara murka. Negara itu tak lain adalah Alengka, yang dipimpin oleh Rahwana. Kisah itu dituturkan dalam "Anak Bajang Menggiring Angin" karya Shindunata.

Perjuangan mengungkap kebenaran dan mengupayakan keadilan dimotori oleh adik Rahwana yang bernama Wibisana. Dia mengkritiik keras kebijakan kakaknya yang merebut kekasih Rama, Shinta. Wibisana dengan keberanian dan jiwa kesatria yang dimilikinya menghalangi usaha Rahwana yang tengah dibakar kama.

Dasamuka alias Rahwana murka. Tanpa memedulikan keterpautan kasih dalam sorga rahim Sang Ibunda, adiknya sendiri ia bunuh. Mendengar hal itu, Kumbakarna pun geram. Akhirnya ia bangun dari tidur panjangnya. menemui kakak sulungnya Rahwana meminta penjelasan atas tragedi yang menjadi aib bear keluarga.

Pintar Rahwana, dibujuknya Kumbakarna lewat perantaraan seorang resi yang paling diseganinya. Akhirnya, dia membiarkan apa yang sedang dilakukan kakaknya. Kumbakarna percaya, dalam kecarut-marutan sebuah negara yang penuh ketidakadilan akan tumbuh benih-benih cinta nyata. Ia putuskan untuk tetap setia melindungi dan membela negaranya dalam pertempuran yang ia tahu akan menghantar ajalnya sendiri.

Shindunta menampilkan dua tokoh Kumbakarna dan wibisana sungguh kontras. Ia memaknai sifat Wibisana yang kesatria, dibandingkan langsung dengan sifat Kumbakarna yang memiliki jiwa Brahmana. Namun, di situlah letak misteri dunia... Mana yang lebih baik antara menjadi kesatria atau brahmana, adalah misteri dunia...

Ira juga menapilkan sebuah versi lain yang patut juga menjadi referensi lain dalam mengungkap misteri-misteri kehidupan. Thanks BRO!!!!

rahayu

Pengelana Buana Budaya mengatakan...

analisis lain dari cuplikan cerita pewayangan yang diketengahkan saudara Awi sang wartawan pejuang ini, memang betul, tapi itu keumuman berdasar alur skrip cerita pewayangannya. maksud saya, bagaimana kita juga melihat sisi antagonistis dalam dunia pewayangan juga kita lihat dari sisi lain. karena kebanyak dunia pewayangan sudah menampilkan cerita jelas dan posisi yang jelas antara kelompok protogonis dan antagonis berikut polemik internal di dalamnya.
begini misalnya, Rahwana itu pasti antagonis, pasti jahat, ajaib kalau ada dalang yang melakonkan Rahwana tiba-tiba jadi baik dan Sri Rama jadi jahat misalnya. Nah bagaimana kita mengupas Rahwana yang jahat itu dari kacamata filsafati yang diakitkan dengan diri kita ataukehidupan kita, dimana kita pun suka berperan jadi Rahwana. Bagaimana kita pun suka berperan menjadi Guru Dorna yang suka mengadudombakan orang, tapi sisi positifnya sejahat-jahatnya Guru Dorna justru ia sangat sayang kepada Arjuna,mungkin kalau saya kupas, sejahat-jahatnya orang (kata orang) toh ia juga sayang terhadap anaknya dantidak mengharapkan anaknya jadi jahat. di lain pihak kebanyakan orang yang "sok baik" menutupi aib anaknya atau kelakuannya sendiri dengan jubah, sorban, dasi, baju besi dsb padahal mereka adalah koruptor, tukang money londring, tukang bunuh rakyat kecil, tukang rusak hutan, dan perusak Pancasila..lebih parah lagi dia merusak tatanan kebhineekaan Bangsa RI yang kita cintai ini..seolah mereka adalah Arjuna, Gatotkaca dsb yang positif-positif dalam dunia pewayangan. Padahal sisi negatif dari peran protogonis itu seperti Arjuna dsb juga memiliki sisi negatif yang tidak baik untuk diikuti, misal, sifat poligaminya Arjuna..kecuali bagi yang setuju poligami kaleeee...