Kamis, 26 Juli 2007

UPAYA MENUMBUHKAN HARMONI SOSIAL ANTAR UMAT BERBEDA KEYAKINAN

Secara keilmuan antropologi, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme sampai tahap konsepsi general yaitu "agama" (dalam bahasa kultur religi masyarakat Indonesia) dan saling berkaitan dengan unsur kebudayaan dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada beberapa konsep pokok kebudayaan menurut bapak antropologi, E.B. Tylor yaitu acquired, complex whole, yang terus bergerak atau berubah lepas dari evolusi organik (super organik dari kebudayaan). Beranjak dari pemahaman kebudayaan E.B.Tylor ini, maka pemahaman dimensi religius tentang konsep "agama" sebagai konsepsi puncak dari perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia (dalam budaya spiritual Indonesia). Benarkah demikian? Bagaimanakah posisi "agama minoritas" atau "sistem kepercayaan" komunitas adat (seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan,Parmalim, Aluk Tadolo dsb) dalam ruang publik ? Sejauh mana awam dapat memahami dan menerima kaum minoritas ini sebagai "agama" (seperti agama Islam, Kristen ds) , untuk kemudian bekerja sama dalam menata kehidupan bersama yang lebih baik? Tapi bagaimana pun dan apapun itu namanya, sebuah sistem kepercayaan agama adat tadi (sebagai contoh agama asli Bangsa Nusantara), memberikan identitas baik personal maupun kelompok budaya tertentu dan memiliki ritual systems and other aspects of religious practice. Bahkan pada prakteknya sistem kepercayaan yang dimaksud memiliki pola religiusitas dan religiomagi yang berkaitan dengan sistem sosial dan teknologi yang dikembangkan dalam kehidupan masyarakatnya. Hanya saja eksistensi mereka secara sosial dan politis sejauh ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan baik berupa diskriminasi yang bersifat vertikal (secara hukum dan birokrasi) maupun secara horizontal (stereotip negatif dan pembedaan perilaku oleh kalangan masyarakat sekitar).
Diharapkan seyogyanya, dalam kehidupan masyarakat yang heterogen, berbeda keyakinan jangan sampai merenggangkan tali persaudaraan sesama warga bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Seperti halnya terjadi pada komunitas Adat Karuhun Sunda di Cigugur-Kuningan Jawa Barat, yang dikenal dengan masyarakat AKUR, komunitas mereka hidup berdampingan secara harmonis antar pemeluk keyakinan (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha,Konghucu, Kejawen dan Sunda Wiwitan). Dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap saling menghormati keyakinan satu dengan lainnya dengan dasar filosofi "silih asih - silih asah - silih asuh" (saling mengasihi - saling mengembangkan - saling membimbing).

Adanya sikap lebih mengutamakan saling mencari "satu pengertian" bukan " satu pengakuan" menjadikan kehidupan sosial mereka didasarkan pada bagaimana upaya untuk saling mencari titik-titik persamaan pengertian masing-masing ajaran keyakinan kegamaan satu dengan lainnya. Bahkan bukan hanya dalam hal mewujudkan saling pengertian antara masing-masing keyakinan tetapi juga dalam perbedaan suku bangsa dan bangsa. Manifestasi sosial ini pada puncaknya dinampakkan dalam wujud budaya spiritual dalam bentuk Upacara Seren Taun setiap tanggal 22 Rayagung Saka Sunda. Dalam hal mana pada Upacara Adat Seren Taun tersebut, didukung dan dilaksanakan oleh berbagai kalangan umat beragama dan suku bangsa dan berdoa pun secara bergantian menurut keyakinannya masing-masing.

Rabu, 25 Juli 2007

Jatinagor Festival 2007

Kemarin perjalana cukup panjang...dari sebuah cita-cita kecil terwujud sudah..JATINANGOR FESTIVAL digelar sudah. meski panitia berjalan tertatih-taih dengan dana yang sangat minim dan minimnya support pemda setempat, tapi justru menjadi tantangan bagi para pantia yang umumnya adalah mahasiswa UNPAD dari berbagai Fkultas, Jurusan, suku dan agama yang berbeda beda. dasar kegiatan itu mungkin sederhana saja, adalah ingin mengangkat kebudayaan setempat dan memberikan penganugrahan kepada budayawan dan seniman lokal yang banyak berjasa dalam menjaga dan mengembangakn budaya seni Sunda sebagai budaya dominan di jatinagor. Dalam hal ini, setidaknya kegiatan itu membuktikan bahwa para mahasiwa UNPAD sangat peduli terhadap masyarakat sekitar kampus dan terutama peduli dalam menjaga kelestarian Kebudayaan bangsa. Saya merasa bangga dengan semangat para panitia yang bekerja tanpa pamrih, meski disela-sela kesibukan UAS, liburan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Ditengah tragedi ironis, dimana adanya segrombolan mahasiswa yang mengeroyok masyarakat setemapt bahkan sampai meninggla, terlepas dari faktor yang meletarbelakanginya, bagi saya, meski kematian adalah Takdir yang maha Kuasa, tapi sebab akibat "kebrutalan" sikap mahasiswa sampai korban meninggal adalah tidak benar.
Tanpa berpretensi negatif terhadap sesama civitas akademika kampus "tetangga", saya menghimbau, hilangkan sikap kekerasan dalam dunia pendidikan terutama di kampus yang akan mencetak kader-kader bangsa yang akan menjadi pemimpin masyarakat. apalagi Perguruan tinggi dan mahasiswa tersebut dibiayai oleh "keringat" rakyat Indonesia.
Ke depan mudah-mudahan Jatinagor Festival yang menampilkan lomba film dokumenter, foto-foto seputar kampus jatinangor, lomba jaipong, kawih, mendongen anak-anak, juga pergelaran seni tradisi Sunda bisa menjadi lebih semarak lagi di tahun mendatang. Lebih dari itu semoga : Para Pemimpin Rakyat Jawa Barat SUNGUH-SUNGGUH mencintai dan mengembangkan kebudayaan SUNDA sebagai salah satu penyokong Kebudayaan Nasional. Disamping SUNGGUH-SUNGGUH memperhatikan tradisi masyarakat dengan segenap aspek kehidupannya di tengah arus GLOBALISASI yang terus masuk ke pelosok-pelosok negeri ini. MERDEKA !!!MAHARDIKA !!! BEBASKAN INDONESIA DARI PENJAJAHAN IDEOLOGI BANGSA ASING APAPUN ITU !!! BERDIKARI DAN BANGKITLAH INDONESIAKU !!!

Jumat, 20 Juli 2007

Agama Masa Depan adalah Agama Kemanusiaan

Hadirnya agama adalah untuk kebahagiaan
Adanya agama adalah untuk kedamaian
Hadirnya agama tidak mempersulit bahkan mempermudah kehidupan
Agama bukan paksaan dan tidak boleh dipaksakan
Hadirnya agama adalah adalah untuk keyakinan pribadi
Agama apapun baik adanya bagi penganutnya
Tidak ada agama paling bagus atau paling jelek
Tidak ada dikotomi tegas antara agama bumi dan wahyu
Adanya agama-agama karena ada-Nya yang menciptakan agama-agama melalui proses yang berbeda
Semua agama akan menjadi baik karena perilaku umatnya
Suatu agama akan menjadi tidak bermakna jika umatnya tidak mampu memaknai agamanya itu sendiri, apalagi sebatas topeng formalitas dan politis belaka
Agama bukan sekedar ayat suci dan simbol-simbol putih
Putih tidak selalu berarti Suci
Agama bukan untuk menakut-nakuti
Beragama belum tentu religius, sedangkan orang yang religius pasti memiliki agama
Agama berubah karena budaya, dan berkembangnya agama juga karena budaya
Agama pun akan membudaya bilamana menjadi keumuman dalam komunitas manusia
Agama tidak akan membudaya bahkan bertentangan dengan budaya bilamana menolak atau bahkan merusak budaya komunitas yang sudah lama berada
Beragama berarti berbudaya meski tidak setiap orang berbudaya juga beragama
Tidak beragama tidak berarti identik dengan tidak ber-Tuhan
Tidak percaya kepada Tuhan tidak berarti tidak berbudaya
Tidak percaya kepada Tuhan tidak berarti tidak beragama
Beragama tidak menutup kemungkinan tidak percaya kepada Tuhan
Percaya kepada Tuhan tidak selalu harus beragama, karena banyak orang beragama merusak ciptaan Tuhan atau melanggar ajaran Tuhan mereka sendiri, sebaliknya...
Orang yang berbuat kebaikan atas nama kemanusiaan tidak selalu ia dituntut untuk harus percaya dulu kepada Tuhan.
Beragama adalah berperilaku yang baik selayaknya kodrat sebagai manusia yang memiliki sama rasa dan perasaan untuk saling merasakan satu dengan lainnya sebagai bagian dari alam dan lingkunganya
Jadi masa depan keberagamaan adalah Tegaknya Kemanusiaan di Muka Bumi.
Sehingga...Agama Masa Depan yang akan menjadi pilihan setiap manusia di Muka Bumi adalah
AGAMA KEMANUSIAAN......

Refleksi Kampus Idaman Pasca Kunjungan ke NUS

Oleh-oleh buah pengalaman / refleksi sewaktu kujungan pengelana buana budaya ke NUS (National University of Singapura) :
"Universitas adalah kebanggaan bagi setiap mahasiswanya juga para almamater lainnya. Suatu kebangaan terhadap Universitas tentunya tidak semata-mata karena indahnya atau artistiknya arsitektur bangunan kampus, bagusnya tataletak bangunan kampus mulai dari taman kampus, stadium centre, cafe kampus, sarana dan prasarana seperti laboratorium, perpustakaan dan sebagainya. ada yang lebih penting lagi sepertinya yaitu iklim atau suasana pendidikan atau mungkin semacam budaya kampus yang betul-betul edukatif, inovatif,progresif, dan kondusif. Sebuah kampus yang bagus memang tidak sekedar nyaman, meski kenyaman adalah faktor penting dalam suasana kampus. Sebuah kampus yang progresif memiliki kurikulum yang canggih dengan mengindahkan pemikiran yang inovatif dan progresif dan terbuka terhadap dunia luar dan perkembangan jaman. Iklim budaya kampus yang kondusif antar sesama mahasiswa, dosen, pejabat kampus dan staf akademika lainnya penting dibuat suasana pergaulan yang harmonis dan penuh kekeluargaan. Etika antar berbagai komponen kampus terus terjaga tanpa menimbulkan gap atau jurang keakraban diantara mereka. Pentingnya menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pada masing-masing peran komponen kampus adalah tanggungjawab bersama. Misal tidak ada salahnya dosen makan bareng di cafe kampus bersama dengan mahasiswa-mahasiswanya. Ngobrol atau jalan-jalan bareng di taman kampus sambil bersenda gurau sesama dosen dan mahasiswa dan birokrat kampus dan sebagainya. Para dosen tidak perlu "sok dosen" ketika berhadapan dengan mahasiswa di luar kelas, sebaliknya mahasiswa juga jangan "sok akrab" sehingga "out of control" dalam bersikap atau "tidak sopan" meski para dosen memberikan keleluasaan dalam pergaulan mereka. Intinya bagaimana iklim kampus dibuat senyaman mungkin sebagai kesatuan ruang infrastruktur dan sistem pendidikan, antara arsitektur, tata letak kampus, kurikulum, sarana prasarana, kebijakan yang transparan dan humanistis dengan tetap menumbuhkan "esprit the corps " kampus tercintanya..Siapa yang tidak bangga menjadi almamater dari kampus idaman itu..some day on the future..I hope always..BRAVO ANTROPOLOGI UNPAD !!!

Kamis, 19 Juli 2007

Pelangi Budaya Bangsa


Sang Pengelana Buana Budaya pasti akan senang bertemu dan berkenalan dengan bangsa mana pun. Indah sekali dunia ini tercipta dari sederetan budaya yang tanpa harus dipertentangkan tapi mesti saling disandingkan. Duduk sama rata berdiri sama tinggi. Dari kiri-kanan mereka adalah orang Dayak Hindu Buda Bumi Segandu Losarang dari Indramayu, sehari-hari mereka berpakaian seperti itu. Kemudian orang Padang yang menjadi warganegara Singapura. Selanjutnya warga bangsa dari Venezuela, Sang Pengelana BuanaBudaya dari Sunda Wiwitan Cigugur-Kuningan Jawa Barat. Mereka berkumpul dalam Upacara Seren Taun di masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda di Cigugur Kuningan beberapa tahun yang lalu. dalam Upacara seren taun Cigugur, puncak acara adalah doa bersama dari masing-masing agama baik agama-agama luar (Islam, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan Kristen Protestan) dan agama adat yaitu Sunda Wiwitan. Bahkan UpacaraSeren Taun itu pun menampilkan berbagai prosesi pakaian adat dan atraksi kesenian masing-masing budaya bangsa tidak hanya yang ada di Indonesia tetapi juga dari bangsa negara lain seperti Jepang, Meksiko dan sebagainya yang kebetulan saat itu hadir bersama. Bukankah Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan saling melengkapi ? Ingat adanya faham "Relativisme Budaya" menunjukkan pada kita bahwa tidak ada budaya di dunia ini yang paling bagus atau paling jelek. kita harus memandang budaya bansga lain dari kaca mata budaya itu sendiri.
Beraneka budaya bangsa yang tumbuh di mayapada ini ibarat Pelangi yang bersinar dari satu sumber cahaya yang sama. tidak untuk dipertentangkan. Alangkah ironisnya bilamana keindahan budaya bangsa yang beraneka warna dan hidup saling berdampingan secara damai dan tentram itu menjadi porak poranda oleh karena "egoisme" faham keagamaan yang sempit dan "Sok Fundamentalis Sejati" padahal mereka adalah provokator diskriminasi yang tidak menginginkan adanya kedamaian di muka bumi ini dengan "Kedok Ayat-Ayat Suci" dan tameng simbol-simbol Kegamaan. Mereka Ibarat Gerhana yang sangat tidak disukai siapapun dan membahayakan umat manusia manapun di muka bumi ini. Mereka adalah "orang-Orang buta mata" dan "buta hati" yang tidak bisa melihat Anugerah Ilahi yaitu Indahnya "Pelangi Budaya Bangsa-Bangsa".

Dasa Muka Dasa Cerita


Siapa yang tidak mengenal Dasa Muka dalam kisah pewayangan Ramayana ? Siapa yang tidak benci Dasa Muka dibandingkan terhadap Sri Rama ? Dasa Muka adalah bergelar Prabu dan memiliki nama keren lainnya adalah Rahwana. Jadi meski Dasa Muka banyak dibenci penggemar dunia pewayangan tapi dia adalah Prabu bahkan rohnya dari alam buana ini (rah = roh, wana = hutan = alam = buana).
Secara realita, bilamana kita bercermin maka kita akan melihat satu wajah kita yang berarti satu muka kita. Coba perhatikan dengan seksama muka kita pada cermin di hadapan kita. Pandang, tatap sedalm-dalamnya muka kita. bagaimana raut muka yang nampak ? bagaimana ekspresi wajah kita saat kita menatap ke dalam rongga mata di depan cermin kita ? Atau bayangkan ekspresi muka kita selama satu hari ini. Ada berpa "topeng" muka kita yang menempel dalam lakon sandiwara kehidupan kita ini. dimana dari setiap "topeng" ekspresi muka itu kita berganti-ganti lakon dan itu pun berbeda antara front stage and back stage. Apakah kita menyenangi "topeng-topeng muka kita itu ? Ataukah sebaliknya kita justru membencinya hanya saja tak kuasa mengungkapkannya ? Apakah kita menyadari perubahan muka kita dalam setiap cerita kehidupan ini. bahkan mungkin tidak hanya se-Dasa Muka yang kita miliki tapi "Seribu Muka" yang kita miliki.
Mengapa Seribu Muka itu ada meski kita tidak minta dan tidak berharap sebelumnya ? Itu adalah "muka atau wajah" dari roh-roh kehidupan dari alam ini yang menyatu dan bersama-sama ingin hidup dalam raga yang berwujud manusia. Inilah tugas "Muka Manusia" atau Muka Sri Rama yang sesungguhnya juga telah menyatu dalam diri kita. Hanya saja kita lebih sering munafik dengan selalu berganti "muka" lebih dari Dasa Muka. Sepantasnya kita menjadi Prabu atas Dasa Muka dalam diri kita sendiri. Bukan menjadi penguasa yang muka Dasa atau bahkan lebih. Tapi kita sebagai manusia harus menjadi Manusia yang mampu menjadi "pemimpin" dari muka roh-roh alam yang menyatu dalam wujud kita. Kita harus menjadi Imam bagi mereka dan menyempurnakannya dalam perilaku. Sebab manusia adalah "Wadah Panglokatan" atau penyempurna dari roh-roh hurip tanah pakumpulan baik hewani maupun nabati.

Tidak Sekedar Tiga (TST)


Banyak simbol yang berdasar pada jumlah, angka atau ukuran tiga. Cipta-Rasa-Karsa. Sir-Rasa-Pikir.Buana Atas-Tengah-Bawah. Allah Bapa-Putra-Roh Kudus. Cinta-Perjuangan-Pengabdian. Pesta-Buku-Cinta. Adat-Sara-Kitabulloh. Rama-Resi-Ratu. Brahma-Wisnu-Siwa. Sex-Sun-Sand dan sebagainya. Nasi Tumpeng, Gugunungan Wayang, Rumah Adat, Kemah atau Camp masyarakat bangsa Indian dan sebagainya membentuk sudut segitiga. Tri Tangtu di Buana, Tri Tangtu dina Raga, Tri Tunggal Maha Kudus, Dalihan Na Tolu, Tigo Tungku Sajarangan, Tri Daya Eka Karsa, Tri Pitaka, Tri Murti, The Third Countries, Tri Sila, dan sebagainya.
Ada ada apa dengan angka tiga (3) ? Mengapa tiga (3) ? meski sekedar angka ganjil, tetapi angka tiga ini sepertinya dmaknai oleh setiap orang, setiap budaya dan setiap jaman. Entah disadari atau tidak saat pemaknaan angka atau ukuran tiga ini, namun hanya orang yang berfilosofi dan berpikir dalam yang mampu membuat angka dan ukuran tiga menjadi bermakna konotatif atau filosofis. Siapa saja mereka yang menjadi pencetus makna-makna mutiara di balik angka dan ukuran-ukuran tiga di bentara budaya dan ajaran di dunia ini ? Pernahkah kita mencoba berpikir mendalam mengungkap makna di balik sesuatu yang tangible, kongkrit, dan jelas. Bahkan kalau kita coba simak satu persatu dari sekian angka dan ukuran, hampir memiliki makna konotasi tidak sebatas angka nominal yang real dan pragmatis. Sejauh mana perbedaan masa lalu dan sekarang bisa ditandai dengan seberapa banyak jurang perbedaan sikap yang pragmatis dan filosofis. Sejauh mana berpikir mendalam tidak sekedar romantis. Sejauhmana berpikir idealis bergulat dengan kemampuan berpikir realistis ekonomis. Sejauh mana keberanian berpikir kritis konstruktif berhadapan dengan pola pemikiran yang egois dan cauvinis. Sejauh mana kemampuan berkomunikasi tingkat tinggi dengan komunikasi tingkat rendah dalam budaya pergaulan. Sejauhmana kemampuan kita memaknai kehidupan secara arif dibandingkan dengan ketidakmampuan kita dalam memberi makna dalam kehidupan itu sendiri. Seolah kemodernan adalah kecangihan belaka. dan kecanggihan itu sendiri parahnya hanya diukur dalam bentuk teknologi bukan dalam pola pikir yang arif dan sikap yang beradab dan bersahaja. kadang kebersahajaan dianggap sebagai keterbelakangan. merka yang terbelakang (katanya) adalah mereka yang hidup nun jauh di hutan dan pegunungan sana (up landersi) yang selalu menjaga hutan dan menjadikan hutan rindang dan berbuah. yang terbelaknag itu adalah mereka yang selalu berfilosofi dan berkonotasi dalam setiap tutur kata dan perilakunya. Mereka menggali dan mempertahankan budaya sebagai identitas dan jati dirinya menantang peradaban modern. Sementara atas nama kecanggihan (teknologi) yang realistis dan pragmatis terus menggerus tanah, menebas hutan belantara, menggali sumber daya alam dan mengubur adat dalam-dalam dan memberinya nisan "BUDAYA POP".

Sanghyang Sri Pwah Aci

Sanghyang Sri Pwah Aci..
Ligar ngaranggeuy nanggeuy mata holang..
kawening galih ngancikna rasa sajati..
Sang Ratu Roh Hurip tanah pakumpulan..
Maparin runtuyan kahayang raga waruga..
Nganteur salira wawakil Sunan Ambu di Buana Nyungcung..
Malih warni sumerep na lemah nu Suci panglokatan ingsun..